Reksadana Terproteksi: Investasi Murni atau Sarana Pelarian?

Bukan kebetulan jika reksadana terproteksi muncul hampir berbarengan dengan goncangnya industri reksadana di Indonesia pada tahun 2005. Kepanikan investor yang menyebabkan penarikan dana besar-besaran dari reksadana pada saat itu memaksa para MI untuk menyediakan wahana investasi baru yang dapat menampung investor-investor tersebut. Jika alasan adanya reksadana terproteksi adalah ketakutan para investor, mengapa reksadana terproteksi masih menjadi salah satu reksadana yang populer?

Menyaksikan nilai investasi kita yang menurun drastis memang bagaikan sebuah mimpi buruk. Investasi yang kita rencanakan dapat memenuhi kebutuhan kita di masa depan malah membuat kita buntung. Boro-boro mendapatkan keuntungan, tidak rugi saja sudah lumayan. Reksadana terproteksi memang dirancang agar nilai pokok investasi kita tidak berkurang dan secara bersamaan juga menghasilkan keuntungan. Menarik bukan? Benar-benar cocok untuk merangkul investor yang sedang ketakutan.

Memang benar bahwa nilai pokok investasi kita terjaga. Namun pernahkah kita berpikir bahwa kita bisa mendapatkan hasil investasi yang lebih besar dengan tingkat keamanan (atau kenyamanan?) yang sama dengan reksadana terproteksi? Mari kita periksa bagaimana sebuah reksadana terproteksi dibentuk.

Salah satu contohnya adalah sebagai berikut. 80% dari dana investor yang terkumpul akan digunakan untuk membeli zero coupon bond yang jatuh temponya sama dengan waktu jatuh tempo reksadana terproteksi. Zero coupon bond adalah obligasi yang tidak memberikan bunga dan sebagai kompensasi dapat kita beli dengan harga diskon. Misalnya harga parnya 100, maka kita bisa membeli di harga 80. Sesuai dengan contoh kita, otomatis pada saat jatuh tempo penerbit obligasi akan mengembalikan pokok investasi kita di harga 100. Dengan mekanisme ini, maka nilai pokok investasi kita akan terjaga. Sisa 20% yang belum tersisa dapat digunakan untuk membeli instrumen investasi yang lebih berisiko, misalnya saham. Dengan skema seperti ini, MI berharap dana 20% tersebut dapat memberikan imbal hasil yang bagus sehingga kebutuhan investor akan keamanan investasinya dan imbal hasil yang memuaskan tercapai. Toh seandainya 20% dana yang dialokasikan pada instrumen investasi yang berisiko pada akhirnya merugi, paling tidak pokok investasinya aman. Tentu saja kondisinya tidak akan seideal itu. Pada prakteknya agak susah mencari zero coupon bond dengan karakteristik seperti contoh di atas. Bagaimanapun juga, daya tarik inilah yang menyebabkan para investor berlomba-lomba menaruh dananya pada reksadana terproteksi.

Pertanyaan saya, pernahkan Anda membandingkan return reksadana terproteksi dengan imbal hasil deposito? Menurut pengalaman saya return reksadana terproteksi kurang memuaskan. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar karena hanya sebagian kecil dari total investasinya yang benar-benar digunakan untuk menghasilkan keuntungan. Selain itu, kita tidak dapat “mencairkan” investasi kita di sana sampai dengan jatuh tempo. Kembali ke deposito. Saat ini suku bunga deposito bisa mencapai 11-12 % per tahun. Umumnya waktu jatuh tempo deposito adalah 1 bulan. Bandingkan dengan locking period reksadana terproteksi yang bisa tahunan. Selain itu, tabungan kita di bank saat ini dijamin pemerintah sampai dengan 2 miliar rupiah. Suatu proteksi yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa deposito bukan investasi karena tidak bisa melawan inflasi, tidak dapat dipungkiri bahwa deposito saat ini merupakan instrumen yang cukup menarik di tengah situasi dunia finansial yang sangat fluktuatif. Bagaimanapun juga, ujung-ujungnya keputusan investasi ada di tangan investor sendiri.

Kondisi reksadana terproteksi yang terkesan hanya sekedar “pelarian” tentu perlu mendapat perhatian. Reksadana terproteksi harus dikembalikan pada “fitrahnya” sebagai wahana investasi murni yang dapat memberikan imbal hasil yang lebih menarik. Bisakah?

Baca selengkapnya ..

Serba-Serbi Sudut Pandang Investor terhadap Market

Chart di bawah adalah chart IHSG selama setahun terakhir ini. Sedikit menyeramkan memang. Akan tetapi jangan salah. Chart yang sama ini akan terbaca secara berbeda oleh investor yang memiliki style investasi yang berbeda-beda. Maksudnya? Mari kita teruskan membaca artikel ini.




1. DCA-ers

Di mata DCA-ers, tidak ada bedanya market sedang atau turun. Investor jenis ini secara berkala akan memasukkan dana dalam jumlah tertentu untuk berinvestasi. Investor jenis ini biasanya paling tidak stres menghadapi market yang bergejolak seperti yang terlihat dari chart IHSG di atas.

Kelebihan:

  • Investor jenis memperkecil risiko masuk ke market pada saat yang tidak tepat. Market yang volatile bukanlah musuh baginya.
  • Dapat mencicil investasinya sehingga tidak terasa terlalu berat.

Kekurangan:

  • Jika market sedang "bagus-bagusnya" return investasinya tidak akan sekencang lari dari para one-time shooters. Biasanya pada kondisi market bullish, investor ini akan merasa ketinggalan kereta.
  • Pada market yang cenderung turun berkepanjangan, ada kemungkinan investor ini akan merasa sedikit stres karena investasinya tidak juga menghasilkan untung.

Saran:

  • Kunci kesuksesan investor jenis DCA-ers adalah disiplin, disiplin, dan disiplin. Tanpa kedisiplinan plan investasi akan semakin kacau.
  • Tingkatkan pelan-pelan jumlah yang Anda investasikan secara berkala. Peningkatan ini bisa dilakukan setiap 2-3 tahun sekali.


2. One-Time Shooters

Investor penganut one-time shooters akan memasukkan dana investasinya satu kali sekaligus. Biasanya investor jenis ini secara sangat hati-hati mencari momen yang pas. Misalnya pada saat market sedang jatuh. Setelah berinvestasi, investor jenis ini biasanya tutup mata dan baru melihat hasil investasinya beberapa tahun ke depan.

Kelebihan:

  • Jika menaruh dananya pada saat yang tepat, investor one-time shooters akan memperoleh keuntungan yang besar.
  • Investor jenis ini cenderung diuntungkan pada saat market bullish, apalagi dalam jangka panjang.

Kekurangan:

  • Kesalahan timing dalam memasukkan dana investasinya seringkali akan mengakibatkan investor ini terpaksa harus memperpanjang horison investasinya Big grin Sebagai contoh, mungkin saja investor jenis ini merasa bahwa level IHSG di 1900-an pada bulan Agustus 2007 sudah cukup murah dan memutuskan untuk masuk. Tentu saja investor tersebut harus lebih bersabar karena sampai saat ini, IHSG sedang berada di 1400-an.
  • Market yang fluktuatif dan tidak begerak ke mana-mana cenderung kurang menguntungkan bagi investor ini.
  • Market yang turun berkepanjangan merupakan momok bagi investor jenis ini. Kadangkala kondisi tersebut dapat menyebabkan frustasi.

Saran:
  • Investor jenis ini harus memiliki horison investasi yang cukup panjang sehingga diharapkan investasinya akan membuahkan hasil. Saham cenderung naik untuk jangka panjang. Thanks to inflation :p
  • Karena horison investasi yang panjang, disarankan jangan terlalu banyak melihat perkembangan investasinya karena pada kondisi market yang buruk hanya akan menyebabkan ingin redeem :)


3. Market Timers a.k.a Traders

Biasanya investor jenis ini adalah tipe yang suka "berpetualang". Investor jenis ini bagaikan seorang surfer yang berusaha mengarungi ombak agar bisa maju. Risiko yang dihadapi memang besar namun potensi keuntungan yang bisa diharapkan juga besar.

Kelebihan:

  • Jika mampu masuk dan keluar di saat yang tepat, pola investasi ini dapat sangat menguntungkan. Sebagai contoh, pada chart IHSG di atas dapat dilihat bahwa market timers akan masuk atau keluar market sesuai dengan tanda panah hijau dan merah. Panah hijau menunjukkan waktu investor untuk masuk dan panah merah menunjukkan investor untuk keluar. Jangan ditanya dari mana saya mendapatkan panah hijau dan merah tersebut :)
  • Jika cukup "tangkas", investor ini dapat terhindar dari kerugian besar akibat penurunan market yang berkepanjangan.
  • Market yang fluktuatif adalah "sahabat" seorang market-timer. Semakin fluktuatif market, semakin besar potensi keuntungan yang dapat diraih.

  • Kekurangan:

    • Biasanya investor jenis ini harus bekerja lebih keras dengan membekali dirinya agar memiliki kemampuan analisa teknikal yang mumpuni. Kalau belum, jangan coba-coba menjadi market timers. Biayanya bisa menjadi sangat mahal :)
    • Jika terlalu sering keluar masuk market, biaya subscribe atau redeem akan semakin membesar.

    Saran:
    • Banyak-banyaklah mempelajari analisa teknikal agar menjadi lebih "lincah" bergerak.
    • Carilah RD yang fee subscribe dan redeemnya rendah.

    4. Investor Plin-Plan

    Investor plin-plan biasanya tidak memiliki pola investasi tertentu. Dia akan keluar masuk market secara acak baik dalam timingnya maupun jumlah investasinya. Ciri lainnya adalah inkonsistensi dalam mengikuti strategi investasi. Terkadang ingin mencoba DCA, namun kemudian tergoda untuk menjadi market timer. Padahal kedua style tersebut sangat bertolak belakang. Ujung-ujungnya malah buntung. Bukannya saya ingin menyudutkan investor jenis ini. Namun biasanya investor jenis ini yang paling bingung pada kondisi market yang buruk karena tidak memiliki dasar untuk mengambil keputusan. DCA-ers bukan, one-time shooter bukan, dan market timer juga bukan.

    Bagaimanapun juga, menjadi investor plin-plan juga sebuah pilihan. Mungkin jika sudah advanced bisa juga sesekali "ganti gaya". Tentu saja dengan tanpa melupakan segala konsekuensi dan risikonya. :)
Baca selengkapnya ..

Reksadana Today: Maju Kena, Mundur Kena

Kondisi keuangan Amerika Serikat yang memburuk mau tidak mau telah berimbas ke negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia mulai melambat karena krisis. Seperti yang telah diketahui, indikator pasar modal biasanya leading terhadap kondisi ekonomi riil. Dampak ekonomi baru mulai terasa akhir-akhir ini. Amerika Serikat sebagai negara dengan perekonomian terkuat yang goncang mengakibatkan negara-negara yang porsi ekspornya ke Amerika Serikat besar mengalami tekanan. Walaupun memang tidak dapat dikesampingkan adanya faktor psikologis yaitu ketakutan para investor.

Di dalam negeri sendiri, imbas dari krisis keuangan di Amerika Serikat mulai terasa. Harus diakui telah terjadi capital flight yang mengakibatkan turunnya harga sejumlah efek sekuritas. Institusi-institusi keuangan di U.S berusaha untuk melikuidasi aset-asetnya di negara lain, termasuk di Indonesia.



Kondisi keuangan Amerika Serikat yang memburuk mau tidak mau telah berimbas ke negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia mulai melambat karena krisis. Seperti yang telah diketahui, indikator pasar modal biasanya leading terhadap kondisi ekonomi riil. Dampak ekonomi baru mulai terasa akhir-akhir ini. Amerika Serikat sebagai negara dengan perekonomian terkuat yang goncang mengakibatkan negara-negara yang porsi ekspornya ke Amerika Serikat besar mengalami tekanan. Walaupun memang tidak dapat dikesampingkan adanya faktor psikologis yaitu ketakutan para investor.

Di dalam negeri sendiri, imbas dari krisis keuangan di Amerika Serikat mulai terasa. Harus diakui telah terjadi capital flight yang mengakibatkan turunnya harga sejumlah efek sekuritas. Institusi-institusi keuangan di U.S berusaha untuk melikuidasi aset-asetnya di negara lain, termasuk di Indonesia.

Industri reksadana Indonesia yang baru saja bangkit dari goncangan pada tahun 2005 kembali harus menghadapi ujian. Penurunan harga-harga saham di BEI berdampak langsung terhadap nilai portfolio reksadana saham dan campuran. Belum selesai mengambil napas, pasar obligasi juga mulai goyang. Harga efek obligasi mulai terkoreksi. Saat ini, sudah mulai banyak harga obligasi yang dijual di bawah harga par nya. Sebagai info, harga par obligasi adalah harga yang dipergunakan sebagai patokan pembayaran pokok obligasi saat jatuh tempo. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh kenaikan suku bunga BI. Selain itu, pada kondisi seperti ini, para investor cenderung menahan diri dalam membeli obligasi. Suatu hal yang wajar karena memang sumber masalah dari krisis saat ini adalah pasar kredit.

Reksadana terakhir yang terkena dampak krisis ini adalah reksadana pasar uang. Seperti yang telah ramai diberitakan beberapa minggu yang lalu. Beberapa reksadana pasar uang melakukan kebijakan untuk membekukan aktivitas subscription dan redemption. Kepanikan investor yang mendorong mereka untuk menarik dananya dari reksadana pasar uang telah memaksa para MI untuk menjual aset-aset dalam portfolio pada harga yang tidak bagus. Kebijakan metode valuasi portfolio pada reksadana pasar uang memang berbeda dengan reksadana jenis lain yang menerapkan metode marked to market. Reksadana pasar uang menerapkan metode amortisasi di mana harga suatu efek akan disusutkan mulai dari harga perolehan sampai dengan harga par pada saat jatuh tempo. Reksadana lain yang biasanya menerapkan metode ini adalah reksadana terproteksi. Secara logis, sebenarnya jika para investor tenang dan tidak panik, mereka tidak akan rugi. Efek yang dimiliki oleh suatu reksadana akan dibayar pokoknya oleh penerbit surat hutang pada saat jatuh tempo pada harga par dan para investor tidak akan mengalami kerugian. Aktivitas redemption yang berlebihan memaksa MI untuk menjual efek pada reksadana yang dimilikinya dengan harga yang murah padahal jika dipegang sampai jatuh tempo, dana investasi dapat dikembalikan secara utuh.

Menghadapi hal ini, Bapepam sebagai pemegang otoritas pasar modal menghadapi sebuah dilema. Jika metode valuasi marked to market terhadap aset reksadana dipertahankan, maka berpotensi membuat para investor panik. Jika metode valuasi diubah menjadi amortisasi, seakan-akan permasalahan yang sebenarnya ditutup-tutupi dengan menampilkan NAB yang terlihat ‘normal’. Tentu saja terdapat trade-off antara kestabilan psikologis para investor dengan keterbukaan terhadap kondisi riil. Saya sendiri saat ini sedang menunggu-nunggu metode valuasi apa yang akan diterapkan oleh Bapepam ke depannya.

Saat ini, ketangguhan kita sebagai investor sedang diuji. Apa langkah-langkah yang kita lakukan dalam menghadapi kondisi yang tidak menentu seperti ini? Sudahkan Anda mempersiapkan backup plan untuk menghadapi kondisi ini? Sebagai investor, apakah dari awal mula berinvestasi di reksadana, kita telah dengan jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan pada form kuisioner? Apakah karena tergiur mengharapkan return yang tinggi kita membohongi diri sendiri dengan menjawab mampu untuk menghadapi risiko yang besar? Tentu saja hanya Anda yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Baca selengkapnya ..

Kategori baru : Book and Movie Reviews

Saat ini saya telah menambahkan kategori baru dalam blog ini yaitu book and movie reviews. Tentu saja saja saya akan mereview mengenai buku dan film yang berkaitan dengan investasi dan reksadana. Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Dengan adanya review, saya mengharapkan paling tidak pembaca dapat mengetahui kira-kira apa yang akan didapatkan dengan membaca buku tersebut. Buku yang akan direview kebanyakan adalah buku berbahasa Indonesia walaupun tidak menutup kemungkinan saya juga akan melakukan review terhadap buku-buku berbahasa asing.

Tidak lupa pada bagian akhir setiap tulisan saya akan memberikan semacam rating antara bintang 1 s.d bintang 5. Tentu saja rating ini adalah pendapat saya pribadi dan mungkin berbeda dengan pembaca lainnya.

Tulisan perdana untuk kategori ini sudah saya upload. Pada tulisan tersebut saya mereview buku dari Nofie Iman (yang juga seorang blogger) yang berjudul "Panduan Singkat dan Praktis Memulai Investasi Reksadana" Baca selengkapnya ..

Book Review : Panduan Singkat dan Praktis Memulai Investasi di Reksadana

  • Judul Buku : Panduan Singkat dan Praktis Memulai Investasi di Reksadana

  • Pengarang : Nofie Iman

  • Kategori : Non-fiksi

  • Penerbit : PT. Elexmedia Komputindo

Buku ini merupakan karya awal Nofie Iman dalam dunia perbukuan. Tidak dapat disangkal, Nofie Iman adalah salah satu blogger yang telah memiliki penggemar tersendiri di jagad maya.

Saat pertama kali melihat buku ini, satu hal yang terbersit di benak saya. Apa yang membedakan buku ini dengan buku-buku sejenis mengenai reksadana? Ada satu hal yang menarik. Pengarang buku ini menyelipkan satu bab mengenai strategi investasi reksadana. Bab ini membahas mengenai diversifikasi dan lebih lanjut mengenai bagaimana membentuk diversifikasi yang optimal. Sayangnya pembahasan mengenai diversifikasi optimal terkesan hanya menyentuh "kulitnya" saja sehingga tidak dapat langsung diterapkan.

Secara keseluruhan, sesuai dengan judulnya, buku ini merupakan buku yang sangat baik bagi seorang pemula yang ingin berinvestasi di reksadana. Penjelasan yang diberikan cukup jelas dan tidak bertele-tele. Dengan membaca buku ini, Anda akan mengetahui seluk beluk reksadana. Mulai dari definisi hingga cara memilih reksadana yang baik. Selain itu, buku ini juga memberikan penjelasan mengenai ETF dan unit link yang masih relatif baru di dunia investasi di Indonesia.

Pada bagian akhir buku ini, pembaca dapat menemukan daftar istilah yang umum digunakan di dunia investasi reksadana sehingga pembaca yang awam dapat mengikuti paparan di dalam buku ini dengan lebih baik. Tak lupa, pengarang juga memberikan daftar agen penjual reksadana dan manajer investasi reksadana.

Pendek kata, buku ini dapat menemani akhir pekan Anda tanpa membuat kening Anda berkerut karena Nofie Iman mampu untuk memaparkan hal-hal yang cukup rumit dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.





Baca selengkapnya ..

Asal Mula Permasalahan Krisis KPR di US

Saya tergelitik ingin mengetahui mengapa subprime mortgage dapat memicu bola salju krisis finansial saat ini. Paling tidak saya ingin mengetahui bagaimana strukturnya dalam pasar KPR di U.S. Setelah mencari-cari akhirnya ketemu juga :)


Dari $6.3 T securitized mortgage debt, terlihat bahwa nilai subprime mortgage di US adalah 800 miliar USD. Yang dimaksud dengan securitized adalah konversi utang menjadi surat berharga yang bisa dijual ke market.

Sedikit cerita mengenai ini. Dari $23T nilai pasar perumahan di US, 47% nya atau $10.7 T dijaminkan. Dari nilai tersebut, $6.3 T dijadikan surat berharga(securitized). Aset-aset tersebut dibagi lagi berdasarkan pihak yang menjamin (underwriter) menjadi agency mortgage dan non-agency mortgage. Pihak yang disebut agency adalah dari pemerintah, baik government agency (Ginnie Mae) ataupun government-sponsored enterprises (Fannie Mae dan Freddie Mac).

Non-agency mortgage adalah mortgage yang dengan berbagai alasan tidak memenuhi kriteria untuk dijamin oleh agency, baik karena skalanya yang terlalu besar (Jumbo Prime) maupun tidak memenuhi syarat sebagai peminjam (Alt-A dan Subprime). Seperti yang kita ketahui bersama, subprime borrower inilah yang menjadi pemicu terjadinya krisis finansial saat ini.


Jumlah sebesar $800 miliar tersebut hanyalah mortgage dan belum termasuk produk derivatifnya seperti CDO yang menggabungkan securitized mortgage tersebut dengan obligasi yang ratingnya lebih tinggi sehingga menjadi lebih "layak" sebagai instrumen investasi. Yang gw belum dapat infonya berapakah nilai sesungguhnya aset yang exposed terhadap risiko krisis finansial ini.

Surat berharga turunan dari subprime mortgage inilah yang menyebabkan krisis menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Sebuah konsekuensi dari globalisasi di mana kita bisa membeli dan menjual barang apapun dari seluruh dunia. Yes, produk derivatif/turunan adalah salah satu senjata yang paling berbahaya yang pernah diciptakan oleh Wall Street.

Jika kita mau berintrospeksi, sebenarnya apakah fungsi dari derivatif itu? kenapa kita harus ngeluarin CDO, futures, options, dll? Apakah tujuan utamanya untuk mencari keuntungan?Nope. Produk derivatif diciptakan untuk melakukan fungsi hedging(lindung nilai) terhadap underlying assetnya. Agar tidak membutuhkan duit yang banyak, maka pada umumnya produk derivatif memberlakukan sistem margin. Pada sistem ini, kita dapat bertransaksi walaupun dana yang kita miliki tidak cukup.

Timbul pertanyaan. Lah kalo dananya tidak cukup, kekurangan dana untuk transaksi siapa yang menalangi? Dapat dikatakan kekurangan dana dalam transaksi margin, di-create out of thin air. Artinya, uang tersebut hanya secara virtual diciptakan. Hal inilah yang menyebabkan transaksi derivatif sangat berbahaya karena sangat sulit memperkirakan seberapa banyak uang "virtual" ini "diciptakan".

Permasalahan derivatif ini adalah permasalahan lama yang baru meledak sekarang. Permasalahan ini sudah mulai muncul dari zaman presiden Reagan yang berpendapat bahwa tidak diperlukan regulasi pada market derivatif. Akibatnya, semakin banyak produk derivatif yang membanjiri pasar dan belum dapat dikalkulasikan risikonya. Kalkulasi risiko dari derivatif menjadi semakin sulit manakala produk yang ditawarkan semakin kompleks.

Sekedar mengingatkan. Bahkan peraih Nobel Ekonomi yang menjadi fund manager Long Term Capital Management(LTCM) pun gagal dalam memprediksi risiko produk derivatif. Akibatnya, tidak hanya LTCM yang ambruk karena default namun juga perekonomian seluruh dunia ikut meriang pada tahun 1998.

Mengutip speech dari Gordon Gekko di film Wall Street:

The point is, ladies and gentlemen, greed is good. Greed works, greed is right. Greed clarifies, cuts through, and captures the essence of the evolutionary spirit. Greed in all its forms, greed for life, money, love, knowledge, has marked the upward surge of mankind -- and greed, mark my words -- will save not only Teldar Paper but that other malfunctioning corporation called the USA...Thank you

Saat ini, tampaknya greed yang akan memakan US.

Apakah program bail-out sebesar $700 miliar yang dipersiapakan oleh pemerintah US cukup untuk menuntaskan masalah ini?ataukah dana tersebut hanya akan menggarami lautan?

Kita lihat episode-episode mendatang
Baca selengkapnya ..

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H

Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan:

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir & Bathin

Semoga investasi yang kita lakukan dapat membawa kebahagian bagi kita di dunia dan akhirat :)
Baca selengkapnya ..

Optimalisasi Portfolio : Studi Kasus (Memanfaatkan PortalReksadana Matrix)

Setelah penjelasan singkat pada tulisan sebelumnya. Saya akan mencoba membuat contoh studi kasus bagaimana cara menentukan komposisi portfolio reksadana kita. Seperti pada tulisan sebelumnya, tools yang harus disiapkan adalah add-in Excel yaitu Solver.
Kali ini kita akan menggunakan bantuan list reksadana yang ada di www.portalreksadana.com (bagian PortalReksadana Matrix).

STEP 1 : Tentukan Reksadana yang akan disertakan dalam portfolio
Kita akan menggunakan data return bulanan selama 3 tahun. Artinya, kita harus memiliki reksadana yang sudah mulai ada pada akhir bulan Agustus 2005 dan masih ada pada bulan Agustus 2008.
Pada langkah ini bandingkan list reksadana pada akhir bulan Agustus 2008 di sini dengan list reksadana pada bulan Agustus 2005 di sini.

Kita hanya akan menggunakan reksadana saham, reksadana campuran, dan reksadana pendapatan tetap. Hilangkan data reksadana jenis lainnya.
Setelah melakukan langkah tersebut, ternyata banyak sekali reksadana yang kita dapatkan. Wah, susah juga untuk melakukan pemilihan. Jangan khawatir, mari kita teruskan ke langkah selanjutnya.

STEP 2 : Sortir Reksadana pilihan dengan PortalReksadana Matrix
Untuk mengurangi jumlah reksadana yang akan kita sertakan, kita filter dahulu dengan PortalReksadana Matrix. Kita ambil 5 reksadana dengan peringkat tertinggi untuk masing-masing jenis dengan syarat, reksadana yang kita pilih itu ada juga di list reksadana yang kita dapat dari STEP 1. Keterangan : Untuk RDC dan RDPT langsung ambil RD yang berada di kuadran diamond. Untuk RDS, berhubung tidak ada RD yang masuk kuadran diamond ,maka kita mengambil 5 reksadana tertinggi dari kuadran gold.List reksadana kita kira-kira akan seperti ini:
  • REKSA DANA SCHRODER DANA ISTIMEWA (RDS)
  • Fortis Ekuitas (RDS)

  • Schroder Dana Prestasi Plus (RDS)

  • Manulife Dana Saham (RDS)

  • Bahana Dana Prima (RDS)

  • SCHRODER DANA TERPADU (RDC)

  • Reksadana Jisawi Mix (RDC)

  • Mahanusa DanaKapital (RDC)

  • Batasa Syariah (RDC)

  • PG Synergy (RDPT)

  • Fortis Rupiah Plus (RDPT)

  • REKSADANA EKOFIX (RDPT)

  • Reksa Dana Berlian (RDPT)

  • Reksadana Optima Obligasi (RDPT)
  • Reksadana Premier Optima (RDPT)


STEP 3 : Mengambil data NAB
Setelah memiliki list reksadana yang akan kita susun, kita ambil dahulu data NAB. Data NAB yang kita butuhkan adalah data akhir bulan setiap reksadana dalam list kita selama 3 tahun (Agustus 2005 – Agustus 2008). Data NAB yang kita miliki total ada 37 buah untuk masing-masing reksadana. Setelah itu, kita buat return bulanan dengan formula sebagai berikut : r = (NABt / NABt-1) – 1.Kemudian susun seperti gambar di bawah ini: (untuk lebih jelasnya mengenai perhitungan return, stdev, R/V, serta parameter-parameter portfolio silakan lihat di file excel yang saya attach di sini.



STEP 4 : Menggunakan solver
Ini dia proses terpenting. Buka solver add-in dari menu di Excel : Tools --> solverSetelah window solver terbuka, isikan pastikan isian formnya seperti ini:



Perhatikan bahwa row untuk weight bernilai 2% untuk masing-masing RD (masih belum dioptimalisasi. Setelah itu kemudian klik tombol Solve. Setelah keluar hasilnya akan muncul window Solver Result. Klik tombol OK dengan pilihan ”Keep Solver Results” dipilih. Hasilnya kira-kira seperti gambar pada STEP 3.
Mungkin itu dulu. Kalau ada pertanyaan silakan dilempar di comment yah
Baca selengkapnya ..

Mengoptimalkan Alokasi Aset, Sebuah Cerita Mengenai Diversifikasi (Bag. 2)

Pada tulisan bagian pertama telah dijelaskan mengenai salah satu kegunaan dari diversifikasi, yaitu optimalisasi portfolio. Pada bagian kedua ini, saya akan mencoba menjelaskan mengenai prakteknya. Materi ini tergolong intermediate dan membutuhkan alat bantu, dalam hal ini adalah Solver Add-in dari Microsoft Excel.

Solver Add-in merupakan salah satu tool penunjang dari Excel yang berguna untuk menyelesaikan persamaan linier. Jika kita memiliki installer office, dengan mudah kita akan dapat menginstall add-in ini. Caranya : Buka program Microsoft Excel kemudian pilih menu Tools kemudian klik menu Add-Ins. Pada pilihan yang ada beri tanda cek pada Solver Add-In kemudian klik tombol OK. Sebelumnya jangan lupa masukkan CD installer Microsoft Office. Nanti secara otomatis Solver akan terinstall.

Setelah selesai dengan permasalahan teknis, mari kita kembali ke topik utama. Inti dari optimalisasi portfolio adalah meminimalkan risiko untuk tingkat return tertentu yang kita inginkan atau dapat juga memaksimalkan return untuk tingkat risiko tertentu yang mampu kita hadapi.


Jika kita menggabungkan beberapa reksadana ke dalam satu portfolio, maka return dari portfolio tersebut merupakan rata-rata tertimbang dari return reksadana penyusunnya. Yang dimaksud dengan tertimbang adalah pembobotan berdasarkan besarnya komposisi masing-masing reksadana yang ada di dalam portfolio kita tersebut, yang dapat dinyatakan dengan:


Di mana :
E(Rp) : return portfolio
Wi : proporsi RD i dalam portfolio
E(Ri) : return reksadana i

Sedangkan risiko total portfolio kita dapat dinyatakan sebagai berikut:


Di mana :
(Sigma p)2 : varians portfolio (varians merupakan kuadrat dari standar deviasi yang merupakan indikator risiko)
Rho ij : korelasi antara RD i dengan RD j

Memang sedikit rumit. Oleh karena itu lebih enak kalau kita langsung menggunakan Solver sebagai alat bantu. Dengan Solver, kita tidak perlu “terjebak” dalam perhitungan yang rumit tersebut. Dengan Solver kita bisa memaksimalkan sharpe ratio portfolio kita dengan cara mengubah-ubah komposisi reksadana penyusunnya.

Teknis pelaksanaan:
  1. Saat ini total reksadana yang terdaftar ada lebih dari 500 buah. Pada proyek ini saya hanya membatasi pada reksadana saham, reksadana campuran, dan reksadana pendapatan tetap. Ketiga jenis reksadana tersebut sudah cukup jika kita ingin melakukan diversifikasi.
  2. Saya menggunakan data return bulanan reksadana selama kurun waktu 2 tahun.
  3. Untuk memudahkan, pengerjaan saya pecah menjadi beberapa bagian. Pertama, saya mencari portfolio optimal untuk masing-masing jenis reksadana. Jadi, kita akan memiliki portfolio optimal RDS, RDC dan RDPT. Untuk masing-masing jenis reksadana saya hanya memilih 10 reksadana terbaik berdasarkan sharpe ratio. Data sharpe ratio ini bisa diolah sendiri atau didapatkan dari menu Sharpe Ratio di PortalReksadana.
  4. Portfolio optimal dari masing-masing jenis RD kemudian digabungkan dan dicari lagi portfolio optimal secara menyeluruh. Setelah langkah ini selesai, kita akan mengetahui berapa seharusnya proporsi reksadana yang optimum.
Hasil dari proses optimalisasi tersebut adalah portfolio optimal dengan sharpe ratio(reward to variability) yang sangat tinggi. Hasilnya akan terlihat seperti ini:



Terlihat bahwa setelah kita melakukan optimalisasi, volatilitas portfolio kita yang diwakili oleh standar deviasi menjadi sangat rendah (0.09%). Nilai ini bahkan jauh lebih rendah daripada volatilitas rata-rata RDPT yang terdapat pada grafik pertama dari bagian pertama tulisan ini.Coba cek di sini.

Keterangan:
Portfolio RDPT merupakan portfolio optimal RDPT yang tersusun atas beberapa buah RDPT. Demikian pula halnya dengan RDC dan RDS.

Mengenai apa saja RD penyusun portfolio optimal RDPT, RDC dan RDS serta berapa komposisi optimal RD-RD tersebut saya agak merasa kurang enak menyebutkannya :p

Yang penting kita telah mengetahui prinsip dari optimalisasi portfolio reksadana. Sebenarnya metode ini dapat lebih dimanfaatkan karena dengan metode ini kita bisa mengeset seberapa besar return dan risiko portfolio kita. Dengan kata lain, kita seakan-akan dapat membentuk "reksadana" kita sendiri di mana profil risk dan returnnya kita yang menentukan.
Baca selengkapnya ..

Mengoptimalkan Alokasi Aset, Sebuah Cerita Mengenai Diversifikasi (Bag 1)

Salah satu prinsip investasi yang sangat penting adalah diversifikasi. Kita bisa saja meletakkan investasi kita dalam satu instrumen yang kita anggap paling baik dan tepat untuk kita. Sayangnya, seluruh jenis instrumen investasi memiliki satu hal yang sama, yaitu risiko. Kita tidak pernah tahu apakah suatu saat nanti terjadi penurunan yang tajam pada investasi kita. Jika kita hanya memiliki satu instrumen investasi, tentu dampaknya akan sangat besar bagi kita. Oleh karena itu kita sebaiknya meletakkan investasi kita di kelas aset yang berbeda. Minimal kita menaruh di beberapa jenis instrumen yang berbeda profilnya. Untuk reksadana, mari kita lihat grafik berikut. Grafik di bawah ini menggambarkan profil return dan risiko masing-masing tipe reksadana. Data yang dipakai adalah data bulanan selama dua tahun dengan data terakhir adalah bulan Juli 2008. (klik pada gambar untuk memperbesar)




Terlihat bahwa masing-masing jenis reksadana memiliki profil yang berbeda-beda. Satu kesimpulan yang bisa kita dapatkan adalah semakin besar return, maka risikonya pun semakin besar. Reksadana pendapatan tetap memiliki risiko terendah, namun menawarkan ekspektasi return yang tidak terlalu besar pula. Reksadana saham menawarkan ekspektasi return yang besar namun diimbangi pula dengan tingginya risiko yang harus kita tanggung.

Kalau begitu apakah kita hanya bisa pasrah saja menerima profil seperti itu? Tentu tidak.
Kita bisa mengatur profil portfolio investasi kita sesuai dengan keinginan kita. Dengan menggabungkan beberapa macam reksadana dari berbagai jenis, kita bisa mix n’ match reksadana dalam portfolio kita agar sesuai dengan keinginan kita. Itulah salah satu manfaat dari diversifikasi.

Satu hal lagi, pernahkan terpikir oleh Anda untuk mengoptimalkan komposisi portfolio Anda?
Setiap instrumen investasi maupun portfolio memiliki profil risiko dan return. Semakin besar return semakin baik dan semakin kecil risiko semakin baik. Biasanya risiko dilambangkan dengan volatilitas/fluktuasinya. Yang saya maksud dengan mengoptimalkan adalah dengan return yang sama, kita berusaha untuk memperkecil risiko. Dapat juga diterjemahkan bahwa dengan risiko yang sama, kita berusaha memperbesar return. Sebagai contoh, jika kita memiliki reksadana saham, profil portfolio kita akan mirip dengan grafik di atas. Setelah proses optimalisasi, kira-kira profil portfolio kita akan tampak seperti plot berikut: (klik pada gambar untuk memperbesar)



Terlihat bahwa dengan return yang hampir sama dengan reksadana saham, risiko kita telah jauh berkurang. Bahkan bisa lebih rendah daripada return rata-rata reksadana campuran. Tentu saja tidak selalu bisa seideal itu. Namun paling tidak dengan optimalisasi, kita bisa mendapatkan sesuatu yang ”lebih” dibandingkan dengan jika kita hanya memegang salah satu jenis reksadana saja, atau hanya mengira-ngira komposisi yang tepat.

Nah sekarang pertanyaannya : BAGAIMANA CARANYA?

Berhubung waktu saya yang sangat terbatas, caranya akan saya bahas di artikel selanjutnya. Semoga tidak terlalu lama menulisnya :)
Baca selengkapnya ..

Strategi Investasi : Value Averaging

Dalam berinvestasi reksa dana, terdapat beberapa strategi yang dapat kita terapkan untuk mengurangi risiko serta faktor emosi. Sebagai investor, emosi merupakan musuh utama kita karena emosi akan menyebabkan kita lebih mudah membuat keputusan yang salah. Sebagai contoh, saat market turun, jika kita panik kita secara spontan akan cenderung menarik dana investasi kita karena takut nilai investasi kita akan semakin menurun. Padahal setelah itu alih-alih semakin menurun, ternyata market kembali rebound dan setelah itu kita baru menyadari bahwa keputusan kita untuk menarik investasi kita adalah keputusan yang tidak tepat. Kepanikan kita tersebut merupakan salah satu bentuk emosi yang harus dihindari oleh investor.

Keinginan untuk mengurangi adanya faktor emosi inilah yang mendorong munculnya berbagai macam strategi investasi. Strategi yang paling terkenal mungkin adalah Dollar Cost Averaging (DCA), di mana kita secara berkala berinvestasi dalam jumlah nominal yang tetap bagaimanapun kondisi pasar. Selain DCA sebenarnya terdapat beberapa macam strategi lain yang dapat kita terapkan. Masing-masing strategi memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Beberapa strategi yang ada antara lain:
  • Jika kita menginvestasikan seluruh dana kita di awal, strategi kita itu disebut dengan Lump-Sum.

  • Jika kita menginvestasikan dana kita dalam jumlah yang tetap secara berkala, maka strategi itu disebut dengan Dollar Cost Averaging (DCA).

  • Jika kita menginvestasikan dana kita untuk membeli reksa dana/saham dengan jumlah unit yang sama secara berkala, maka strategi kita itu disebut dengan Constant Share (CS).

  • Jika kita menginvestasikan dana dalam jumlah tertentu secara berkala sehingga pertambahan nilai investasi kita selalu tetap, strategi kita itu disebut dengan Value Averaging (VA).
Pada tulisan kali ini saya akan membahas mengenai strategi investasi Value Averaging atau biasa disingkat VA. Konsep dari strategi ini adalah membuat pertambahan nilai investasi kita akan selalu tetap. Misalkan kita menginginkan nilai investasi kita bertambah sebesar Rp 500.000,- setiap bulannya. Jika kita menerapkan strategi value averaging, maka kita akan menambah atau mengurangi investasi kita sehingga pertambahan nilainya akan tetap (Rp 500.000,-) setiap bulannya. Pada akhir bulan pertama, kita menginvestasikan dana kita sebesar Rp 500.000,-. Dengan ketentuan seperti di atas, maka pada akhir bulan kedua nilai investasi kita harus menjadi Rp 1.000.000,-. Jika pada akhir bulan kedua ternyata nilai investasi kita meningkat menjadi Rp 550.000,-, maka kita hanya perlu menambahkan dana sebesar 1.000.000 – 550.000 = Rp 450.000,-. Dengan demikian, pada akhir bulan kedua, nilai investasi kita akan sesuai dengan target yaitu Rp 1.000.000. Proses ini dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya.

Mirip dengan strategi Dollar Cost Averaging, skema strategi di atas mempunyai satu kelemahan. Dalam beberapa tahun ke depan, seiring dengan inflasi mungkin pertumbuhan konstan sebesar Rp 500.000,- akan terasa kecil. Oleh karena itu kita perlu melakukan sedikit ”modifikasi” agar pertumbuhan investasi kita dapat mengatasi efek inflasi. Apa yang harus kita lakukan? Agar nilai pertumbuhan dapat mengatasi efek inflasi, maka target pertumbuhan kita nyatakan dalam persentase. Dasar dari konsep ini sama dengan skema sebelumnya. Hanya saja, jika dalam skema sebelumnya kita menargetkan pertumbuhan Rp 500.000,- setiap bulan, maka pada skema ini kita menargetkan pertumbuhan dalam persen katakanlah 3% setiap bulannya. Jadi pada akhir bulan kedua, kita harus membuat nilai investasi kita menjadi (1 + 3%) x Rp 500.000,- = Rp 515.000,-. Pertumbuhan sebesar itu dapat dicapai dengan meningkatnya nilai investasi maupun tambahan dana dari kita. Mungkin pertumbuhan sebesar 3% atau Rp 15.000,- pada akhir bulan kedua tersebut terasa kecil namun nilai 3% tersebut akan terasa besar pada tahun-tahun mendatang. Dengan mengubah bentuk pertumbuhan menjadi persentase, maka kita telah memecahkan permasalahan yang ditimbulkan oleh inflasi.

Satu hal yang perlu diingat jika nilai investasi kita melebihi target, kita akan menarik sejumlah dana kita agar nilainya sesuai dengan target yang telah ditetapkan semula.

Lalu apa kelebihan dari strategi Value Averaging ini?
Dengan menerapkan strategi ini, kita akan mengurangi harga pembelian unit reksa dana kita. Hal tersebut akan kita bahas lebih data pada contoh yang akan saya berikan. Selain itu, strategi ini memungkinkan kita untuk ”mencicil” investasi kita, sama dengan strategi Dollar Cost Averaging.

Contoh yang akan saya berikan ini berdasarkan data IHSG 6 bulanan sejak tahun 1989. Mengapa saya menggunakan data IHSG dan bukan NAV reksa dana saja?
Pertama, pergerakan NAV reksa dana pada umumnya hampir sama dengan pergerakan IHSG.
Kedua, saya ingin mengolah data dalam periode yang lebih panjang. Reksa dana paling ”tua” yang ada saat ini mulai diterbitkan pada tahun 1996, jauh lebih pendek dibandingkan dengan awal perhitungan IHSG yaitu tahun 1988.

Data yang digunakan adalah data 6 bulanan karena jika terlalu singkat, subscribe dan redeem fee kita akan membengkak.

Mari kita perhatikan simulasi berikut (klik pada gambar untuk memperbesar) :



Terlihat bahwa dengan menargetkan pertumbuhan dana sebesar 12% per 6 bulan, maka berdasarkan total dana yang telah kita investasikan, return kumulatif investasi kita adalah sebesar 16.258% (enam belas ribu persen) atau 14,77% per enam bulan. Is it amazing? Bagaimana mungkin dengan target pertumbuhan 12% per 6 bulan kita memperoleh return sebesar itu?

Kuncinya adalah pada proses pembatasan pertumbuhan. Jika pertumbuhan di bawah target, maka kita memasukkan dana tambahan. Jika pertumbuhan di atas target, maka kita kurangi investasi kita.

Yang mengejutkan, dengan menerapkan strategi VA ini, untuk mencapai nilai investasi sebesar Rp 33.115.921,- total dana yang kita keluarkan hanyalah Rp 202.000.

Nilai minus pada harga perolehan rata-rata menandakan bahwa kita tidak perlu mengeluarkan dana untuk investasi kita.

Memang Rp 33 juta terlihat kecil. Jika kita ingin memperoleh hasil yang lebih besar, kita bisa memperbesar nilai nominal awal. Misalnya kita tidak menaruh Rp 500 rb akan tetapi Rp 5 juta.

Satu hal yang sangat penting dan tidak boleh kita lewatkan adalah fluktuasi. Jumlah dana yang harus kita masukkan atau keluarkan setiap 6 bulannya berkisar antara Rp 30 ribu sampai dengan Rp 7,8 juta. Sebuah kisaran nilai yang cukup lebar.

Oleh karena besarnya fluktuasi keluar masuk dana, maka menurut saya strategi ini merupakan strategi yang cukup advanced karena membutuhkan disiplin dan mengandung risiko yang cukup tinggi. Tanpa perhitungan yang matang di awal, jangan menerapkan strategi ini untuk berinvestasi.

Terbukti memang semboyan ’high risk, high return’


Diclaimer is on

Baca selengkapnya ..

ETF vs Reksa Dana Indeks

ETF (Exchange-Traded Fund) merupakan wahana investasi yang relatif baru di negeri kita ini. Produk ETF yang ada saat ini ada dua, yaitu ABF IBI Fund dan Premier ETF LQ-45. ABF IBI Fund menggunakan portfolio indeks obligasi sebagai patokan sedangkan Premier ETF LQ-45 menggunakan indeks LQ-45 sebagai indeks patokan.

Sebelum ETF muncul, kita telah terlebih dahulu mengenal reksa dana indeks, yaitu Danareksa Indeks Syariah. Reksa dana ini menggunakan indeks JII (Jakarta Islamic Index) sebagai acuan. Baik ETF maupun reksa dana indeks berusaha menirukan kinerja dari indeks acuannya. Lalu apa perbedaan keduanya?



Reksa Dana Indeks
Reksa dana indeks adalah reksa dana yang portfolionya terdiri atas saham-saham penyusun indeks tertentu. Proporsi kepemilikan saham oleh reksa dana indeks sebisa mungkin disamakan dengan komposisi indeks acuan tersebut sehingga diharapkan kinerjanya akan menyamai kinerja indeks acuan.

Proses pembentukan reksa dana indeks sama dengan reksa dana pada umumnya. Mari kita perhatikan gambar berikut:


Manajer investasi akan membeli saham-saham di pasar sampai dengan komposisinya menyamai indeks. Tentu saja dalam perjalanannya nanti akan terjadi sedikit perbedaan kinerja dengan indeks acuan. Perbedaan ini disebut dengan tracking error. Setiap beberapa bulan sekali, manajer investasi akan menata ulang portfolionya untuk meminimalisasi tracking error ini. Manajer investasi kemudian menjual membeli unit penyertaan kepada para investor.
Pembelian reksa dana indeks sama dengan reksa dana pada umumnya. Kita dapat membelinya di agen penjual reksa dana atau langsung ke manajer investasinya. Begitu juga jika kita ingin menjual unit reksa dana kita. NAB reksa dana indeks dapat kita lihat setelah berakhirnya sesi perdagangan harian.
Karena reksa dana indeks memerlukan pengawasan yang relatif sedikit, maka management fee untuk MI biasanya cukup rendah. Untuk Danareksa Indeks Syariah, management fee tahunan maksimal 0.3% dari NAB. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pengelolaan reksa dana saham biasa yang bisa mencapai 2.5% per tahun.

ETF
Pada tulisan ini, saya hanya akan membahas mengenai ETF saham karena memiliki underlying portfolio yang saham dengan reksa dana indeks yaitu saham.
Hampir sama dengan reksa dana indeks, ETF berusaha untuk mereplikasi indeks tertentu agar kinerjanya sama dengan indeks acuan tersebut.
Pembentukan ETF berbeda dengan reksa dana indeks. Mari kita perhatikan gambar berikut:



Dealer partisipan akan membeli saham-saham di pasar dengan komposisi yang saham dengan indeks acuan sampai dengan jumlah tertentu. Saham-saham yang telah dibeli ini kemudian ditukarkan dengan unit kreasi yang dibuat oleh manajer investasi ETF. Setelah memiliki unit kreasi yang dimiliki oleh dealer partisipan dapat disimpan sendiri atau dijual ke pasar setelah dipecah-pecah dalam bentuk unit penyertaan. Satuan penjualan di pasar adalah lot (500 unit penyertaan).
Jadi, perbedaan pertama antara ETF dengan reksa dana indeks adalah bagaimana cara pembentukannya. Pada ETF, yang berhak untuk bertransaksi dengan manajer investasi hanyalah dealer partisipan yang sering disebut juga dengan market maker.

Sama halnya dengan reksa dana indeks, pengelolaan ETF juga bersifat pasif sehingga management fee nya pun relatif rendah jika dibandingkan dengan reksa dana saham pada umumnya.
Perbedaan kedua adalah pihak yang menjual dan membeli unit penyertaan. Investor ETF hanya dapat membeli dan menjual unit penyertaan dari investor lain melalui pasar sekunder. Proses transaksinya sama persis dengan transaksi saham. Jadi saat membeli atau menjual unit penyertaan, kita tidak dikenai subscribe atau redeem fee melainkan komisi broker yang jumlanya bervariasi antara 0.2%-0.3% untuk pembelian dan 0.3%-0.4% untuk penjualan. Kesimpulannya untuk dapat berinvestasi di ETF, kita harus terdaftar sebagai nasabah suatu sekuritas.

Perbedaan ketiga adalah penetapan harga unit penyertaan. Jika pada reksa dana indeks, NAV nya ditentukan berdasarkan nilai wajar dari aset yang dimilikinya, maka pada ETF, harganya tidak harus sama dengan NAV nya. Di samping itu, harga ETF akan diupdate secara kontinyu selama perdagangan di pasar berlangsung. Hal ini berbeda dengan reksa dana indeks di mana NAV nya hanya dapat kita ketahui 1 kali setiap harinya yaitu saat perdagangan di pasar telah berakhir. Harga unit penyertaan ETF ditentukan oleh transaksi antar investor di pasar.

Perbedaan keempat adalah periode settlement. Jika kita ingin membeli reksa dana indeks, kita harus menyediakan dananya terlebih dahulu. Jika kita membeli ETF, kita tidak harus memiliki dananya saat itu juga, akan tetapi diberi waktu hingga 3 hari setelah transaksi (T+3). Adanya perbedaan ini disebabkan karena ETF diperlakukan sama dengan saham yang memiliki periode settlement 3 hari.


Walaupun terdapat beberapa perbedaan, ETF dan reksa dana indeks memiliki persamaan:
- Portfolionya mengacu pada suatu indeks tertentu
- Biaya pengelolaan yang relatif rendah

Lalu mana yang kita pilih?Jika kita adalah investor pasif, maka baik ETF maupun reksa dana indeks sama saja. Namun jika kita adalah investor aktif, maka ETF merupakan pilihan yang lebih baik karena dapat diperdagangkan secara real-time tanpa harus menunggu berakhirnya sesi perdagangan. Baik ETF maupun reksa dana menawarkan satu keunggulan yaitu memiliki kinerja yang menyamai indeks acuan dengan biaya pengelolaan rendah.

Namun ada hal lain yang harus kita perhatikan. Saat ini volume perdagangan ETF sangat rendah sehingga mengakibatkan lebarnya spread (perbedaan) antara harga bid dan offer di pasar. FYI, ’bid’ adalah harga yang kita dapatkan jika ingin menjual ETF saat itu juga sedangkan ’offer’ adalah harga yang kita dapatkan jika kita ingin membeli ETF saat itu juga.

Selain itu, karena tidak ada keharusan bahwa harga unit penyertaan ETF sama dengan NAV nya, maka terkadang terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga dengan NAV nya. Jika kita jeli, maka kita dapat memanfaatkannya dengan membeli ETF jika harganya di bawah NAB dan menjualnya jika harganya lebih tinggi dari NAV nya. FYI, NAV ETF seharusnya sama dengan nilai indeks acuannya.

Hal yang serupa dapat pula dilakukan oleh dealer partisipan untuk menambah keuntungan. Saat harga ETF lebih tinggi daripada indeks acuan, maka dealer partisipan akan membeli saham-saham penyusun portfolio ETF di pasar dan kemudian menjual unit kreasi yang dimilikinya kepada manajer investasi ETF. Demikian pula jika harga ETF lebih rendah daripada indeks acuannya, maka dealer partisipan dapat menjual saham-saham penyusun portfolio ETF dan menggunakan dana yang didapat untuk membeli unit kreasi dari manajer investasi ETF. Tindakan ini disebut dengan arbitrage.

Demikian sedikit paparan mengenai ETF dan reksa dana indeks. Selamat berinvestasi!









Baca selengkapnya ..

Reksa Dana Saham di Tengah Badai

Tidak terasa sudah hampir setahun sejak krisis subprime mortgage dan harga minyak pertama kali melanda dunia. Krisis subprime mortgage ini memang dimulai di US, namun imbasnya terasa di bursa saham seluruh dunia, termasuk BEI. Yang lebih membuat keadaan menjadi lebih runyam, ketika krisis subprime mortgage mulai mereda, harga minyak kembali meroket dan dengan segera memicu inflasi. Saat ini harga crude oil tertinggi tercatat adalah USD 142 per barrel. Perlahan tetapi pasti, harga minyak terus-menerus menemukan titik tertinggi yang baru. Kenaikan harga minyak ini kemudian diperburuk dengan kenaikan harga komoditas lainnya.

Sebagai seorang investor reksa dana, tentu kita tidak luput dari kecemasan terhadap kondisi perekonomian dunia saat ini. Tidak dapat dipungkiri, US sedang dalam masa resesi. Inflasi mulai menghantui perekonomian negara adidaya tersebut. Indonesia pun tidak luput dari ancaman inflasi tinggi. Target inflasi 2008 sebesar 6% semakin jauh dari kenyataan. Saat ini kita sedang menghadapi ancaman tingkat inflasi dua digit. Ketidakpastian kondisi ekonomi global ini membuat BEI juga terguncang naik turun. Dalam pengamatan saya, dari bulan Agustus 2007 sampai dengan saat ini, terdapat paling tidak 3 gelombang naik turun yang besar. Sebagai investor reksa dana saham, kondisi tersebut tentu saja kurang menguntungkan. Mari kita perhatikan grafik perkembangan IHSG pada kurun waktu tersebut.



Terlihat bahwa terdapat 3 periode bearish dan ada 3 periode bullish. Titik-titik yang saya sebutkan adalah titik ekstrim tertinggi dan terendah, bukan harga penutupan.

Periode bearish:
I --> 26 Jul 07 - 18 Aug 07 (dari 2405.96 turun menjadi 1863.96)
II --> 14 Jan 08 - 22 Jan 08 (dari 2838.48 turun menjadi 2231.48)
III --> 26 Feb 08 - 10 Apr 08 (dari 2773.43 turun menjadi 2254.07)

Periode bullish:
I --> 18 Aug 08 - 14 Jan 08 (dari 1863.96 naik menjadi 2838.48)
II --> 22 jan 08 - 26 Feb 08 (dari 2231.48 naik menjadi 2773.43)
III --> 10 Apr 08 - 23 May 08 (dari 2254.07 naik menjadi 2516.26)


Sebagai informasi, saat ini IHSG sedang dalam periode bearish IV. Pada tanggal 27 Juni 2008, IHSG ditutup di 2341.36.

Walaupun IHSG selama 1 tahun belakangan ini sangat fluktuatif, ada pelajaran yang dapat kita petik. Pada kondisi pasar dalam badai seperti inilah kita akan dapat melihat reksa dana mana yang dapat melaluinya dengan baik. Analisa saya batasi untuk reksa dana saham saja karena kinerja reksa dana sahamlah yang sangat terkait dengan pergerakan IHSG.

Mari kita coba analisa periode-periode tersebut satu persatu. Sebagai informasi, Bear Score dan Bull Score menunjukkan berapa return maksimum kita jika masuk dengan timing yang sangat tepat.


KINERJA RDS PADA PERIODE BEARISH I, II, dan III
Score RDS saat bearish dapat dilihat di tabel di bawah ini.



Bear score dihitung dengan cara : Bear Score = ((1+rbear1)*(1+rbear2)*(1+rbear3))-1
Bear score menghitung return kumulatif jika kita subscribe reksa dana saham di puncak IHSG dan kemudian melakukan redeem di titik terbawah IHSG pada ketiga periode bearish tersebut.

Terlihat bahwa reksa dana BIG Palapa menduduki peringkat tertinggi dengan Bear Score -35.69%. Artinya jika kita sial masuk saat IHSG sedang tinggi-tingginya dan keluar saat IHSG mencapai titik terendah berulang kali, kita 'hanya' mengalami loss -35.69%. Peringkat kinerja terbaik kedua pada periode bearish ini adalah reksa dana Panin Dana Maksima dengan bear score -36.39%, hanya berbeda sedikit dengan BIG Palapa. Peringkat selanjutnya diduduki oleh reksa dana Optima Saham dengan bear score -38.39%.

Pada periode bearish ini, kinerja terburuk ditunjukkan oleh reksa dana Grow 2 Prosper yang drop -57.01% jika kita berinvestasi dengan timing yang tidak tepat. Kinerja terburuk kedua ditunjukkan oleh reksa dana Trim Kapital dengan bear score -56.42%. Kinerja terburuk selanjutnya ditunjukkan oleh reksa dana Si Dana Saham Optimal dengan bear score -55.35%.


KINERJA RDS PADA PERIODE BULLISH I, II, dan III

Perhitungan Bull Score sama dengan Bear Score, yaitu return kumulatif dari 3 periode bullish.
Bull Score menghitung berapa return kita jika kita selama periode pengamatan masuk di titik terbawah IHSG dan keluar di titik tertinggi IHSG pada periode bullish tersebut.



Selama kurun waktu tersebut, kinerja terbaik ditunjukkan Mega Dana Saham dengan Bull Score 158.02%. Kinerja terbaik kedua ditunjukkan oleh reksa dana Euro Peregrine Equity dengan bull score 141.28%. Kinerja terbaik ketiga ditunjukkan oleh reksa dana Pratama Saham dengan bull score 135.67%

Kinerja terendah pada periode-periode bullish ditunjukkan oleh reksa dana Panin Dana Maksima dengan score 46.62%. Hal ini cukup mengejutkan mengingat Panin Dana Maksima menempati peringkat terbaik kedua untuk kinerja di masa bearish. Hal ini menjadi indikasi bahwa sensitivitas reksa dana ini terhadap pergerakan IHSG cukup rendah. Kinerja terendah kedua ditunjukkan oleh reksa dana Lautandhana Equity dengan bull score 50.94% sedangkan kinerja terbaik ketiga ditunjukkan oleh reksa dana BIG Palapa dengan bull score 52.33%. Kejadian yang terjadi pada Panin Dana Maksima terulang pada BIG Palapa. Hal ini semakin menguatkan dugaaan bahwa kedua reksa dana tersebut tidak terlalu sensitif terhadap pergerakan IHSG.


KINERJA RDS SELAMA KESELURUHAN PERIODE PENGAMATAN
Pada kondisi yang fluktuatif seperti saat ini, masih ada investor long term yang menerapkan strategi ‘buy n hold’. Apapun yang terjadi, investor jenis ini akan tetap bertahan (termasuk saya mungkin  ). Jika kita menerapkan strategi ‘buy and hold’ dari tanggal 26 Jul 07 sampai dengan 23 May 08, maka kinerja RDS kita adalah sebagai berikut:



Kinerja buy and hold ditunjukkan oleh survival score.

Terlihat bahwa Euro Peregrine Equity menduduki peringkat tertinggi dengan return 37.07% dan diikuti oleh Syailendra Equity Opportunity Fund dengan return 25.10%. Kinerja terbaik ketiga ditunjukkan oleh reksa dana GMT Dana Ekuitas dengan return 20.37%.

Kinerja buy n hold terburuk ditunjukkan oleh Lautandhana Equity dengan return -29.27% yang diikuti oleh reksa dana Paramitra Premium dengan return -28.18%. Kinerja terburuk selanjutnya ditunjukkan oleh reksa dana BNI Reksadana Berkembang dengan return -19.43%.

Sekian analisa singkat kinerja reksa dana saham selama krisis ini. Dengan adanya pemisahan periode-periode bullish dan bearish, kita dapat melihat bagaimana kemampuan stock picking dan market timing para MI reksa dana saham pada kondisi yang terbaik maupun terburuk.

Semoga kita semua selamat :)

Disclaimer:
Analisa ini merupakan analisa pribadi dan bukan anjuran untuk membeli atau menjual suatu reksa dana tertentu.

Baca selengkapnya ..

Bapepam to Found Mutual Fund Rating Firm

StockWatch (Jakarta) - The Capital Market and Financial Institution Supervisory Board (Bapepam LK) is making a plan to found a mutual fund rating firm, Bapepam's head of bureau for investment management, Joko Hendarto, said.

"The rating agency is necessary as it will give an investor a more comprehensive outlook on a mutual fund product," Hendarto said when speaking in a capital market workshop held on Thursday (19/6) in Jakarta.

"So far, there's no mutual fund rating agency in Indonesia, because of, among others, the maturity period of mutual fund which is only five years - which is meant to avoid tax. In fact, a rating requires a long historical track," Hendarto said.

Besides, he said further, Bapepam is preparing to establish a bond valuation institution. "Until recently, bond transactions are done by individuals. Going forward, the institution will make a fair valuation on certain bonds as in stocks which have their valuations recorded in IDX trading chart," he described. (adhi/was)

source : http://www.e-bursa.com/index.php?MODE=1

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Dengan adanya badan rating reksa dana yang resmi, maka investor sekarang bisa lebih cermat dalam memilih reksa dana.

Di US, salah satu perusahaan yang memberikan rating adalah Morningstar. Morningstar melakukan pemeringkatan reksa dana berdasarkan Sharpe ratio dengan pembobotan. Kita tunggu saja metode rating apa yang akan digunakan oleh Bapepam.
Baca selengkapnya ..

Mengenal Risk and Reward

Mengenal Risiko Investasi
Dalam berinvestasi, selain return kita juga harus memperhatikan risiko yang harus kita ambil untuk mendapatkan return tersebut. Jika dua aset berpotensi memberikan return yang sama namun dengan tingkat fluktuasi yang berbeda, tentu kita akan memilih aset dengan tingkat fluktuasi yang lebih rendah. Trade off antara return dengan volatilitasnya dapat dilihat di sini.

Perbandingan antara return dengan volatilitasnya hanyalah satu dari beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur risk to reward ratio. Nama yang lebih populer untuk ratio ini adalah risk-ajusted return, return setelah dinormalisasi dengan risiko. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai risk-adjusted return ini, ada baiknya kita mengenal apa itu risiko.

Risiko adalah hal-hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan return investasi kita. Risiko itu dapat berupa unsystematic risk, yaitu risiko individual yang terkandung dalam suatu aset. Risiko dapat juga berupa systematic risk, yaitu risiko yang diakibatkan oleh market secara keseluruhan, misalnya suku bunga, inflasi, atau harga minyak. Unsystematic risk tidak terkait dengan risiko secara keseluruhan. Misalnya kurangnya kemampuan manajemen dalam suatu perusahaan. Risiko ini akan bersifat spesifik pada suatu perusahaan, demikian pula pengaruhnya terhadap harga sahamnya.

Sebagai investor, unsystematic risk dapat kita hindari dengan melakukan diversifikasi. Dengan diversifikasi, kita bisa meminimalisasikan risiko yang muncul dari suatu aset tertentu. Hal ini lah yang menyebabkan ETF semakin berkembang pesat di US. Sebaliknya, systematic risk lebih susah untuk dihindari karena berkaitan dengan kondisi market secara keseluruhan, seperti yang kita alami saat ini.

Mengukur Risiko Investasi
1. Standar deviasi --> Standar deviasi, bersama-sama dengan variance merupakan potensi penyimpangan dari return rata-rata suatu aset. Standar deviasi ini merupakan representasi dari unsystematic risk. Oleh karena itu, portfolio yang terdiversifikasi dengan baik akan memiliki standar deviasi yang rendah.
2. Beta --> Beta merupakan sensitivitas pergerakan suatu aset terhadap pergerakan market secara keseluruhan. Contoh: Jika Beta = 1, maka jika market naik 1%, maka aset juga akan naik sebesar 1%. Begitu pula jika market turun 1%. Aset tersebut juga akan turun sebesar 1%. Semakin besar beta, maka fluktuasi harga suatu aset akan semakin besar. Beta merepresentasikan systematic risk. Semakin besar beta, maka risiko suatu aset semakin besar.

Mengukur Risk to Reward
Berdasarkan pembahasan di atas, kita telah mengenal dua macam risiko investasi, yaitu systematic risk (beta) dan unsystematic risk (standar deviasi). Risk to reward ratio merupakan ratio yang didapatkan dengan membandingkan return dengan kedua jenis risiko tersebut.
Ada 2 macam risk to reward ratio yang terkenal:
1. Sharpe Ratio --> Sharpe Ratio membandingkan selisih antara return aset dan risk free rate dengan standar deviasi dari aset tersebut. Dengan kata lain:


Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar Sharpe ratio adalah semakin baik.

2. Treynor Measure --> Membandingkan selisih antara return suatu aset dan risk free rate dengan systematic risknya(beta). Dengan kata lain:



Sama seperti sharpe ratio, semakin besar Treynor Measure, maka semakin baik.

Karena bersifat relatif, baik Sharpe Ratio ataupun Treynor Measure nilainya akan berarti jika dibandingkan dengan nilai Sharpe Ratio ataupun Treynor Measure dari aset yang lain.

Apa kelebihan dari Sharpe Ratio dan Treynor Measure?
- Dapat digunakan untuk membandingkan kinerja satu aset dengan aset yang lain
- Relatif mudah untuk dihitung

Apa kelemahan dari Sharpe Ratio dan Treynor Measure?
Kita tidak bisa mengetahui apakah nilai kedua rasio tersebut tinggi karena return yang besar atau risiko yang rendah.

Baca selengkapnya ..

Sampaikan Topik yang Ingin Dibahas

Agar blog ini lebih berguna bagi kita semua, apabila Anda memiliki topik yang ingin dibahas, silakan masukkan di dalam form komentar di bawah ini. Sebisa mungkin akan saya coba untuk membahas topik tersebut :)

best regards,


-dunkz- Baca selengkapnya ..

Antara Realitas dan Persepsi Mengenai Realitas

Sebagai seorang investor, pernahkah Anda merasa kecewa karena saham yang telah Anda beli tidak kunjung naik harganya bahkan mungkin cenderung turun? Padahal sebelum Anda memutuskan untuk membeli saham tersebut Anda telah melakukan analisis secara mendalam. Anda tidak sendirian. Bahkan seorang analis yang sangat berpengalaman pun kemungkinan besar pernah mengalami hal yang sama. Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah seorang analis yang profesional telah dibekali dengan berbagai macam ilmu untuk menilai harga wajar dari suatu saham? Apakah penilaian sang analis itu salah? Belum tentu!

Kebanyakan teori mengenai investasi didasarkan pada sebuah asumsi bahwa pelaku pasar akan bertindak secara rasional dalam mengambil keputusan. Asumsi ini pula yang melahirkan teori pasar efisien. Katakanlah saham A dan B saat ini diperdagangkan pada harga yang sama, yaitu Rp 1.000,00. Berdasarkan penilaian kita, harga saham A seharusnya bernilai Rp 1.400,00, sedangkan harga saham B berdasarkan metode yang sama seharusnya harganya hanya Rp 800,00. Sebagai seorang investor yang rasional, tentu saja kita akan memutuskan untuk membeli saham A yang harganya berpotensi untuk naik sebesar 40% dan tidak membeli saham B karena harganya sudah terlalu mahal. Apa yang terjadi? Setelah kita membeli sejumlah saham A, ternyata harganya turun menjadi Rp 900,00. Saham yang kita rasakan terlalu mahal malah naik menjadi Rp 1.300,00. Aneh bukan? Sekali lagi saya katakan, Anda tidak sendirian. Banyak sekali investor yang pernah mengalami hal seperti itu. Mungkin Anda akan bertanya, kalau memang harga suatu saham tidak bisa diprediksi, apa gunanya kita melakukan analisis yang rumit untuk mengambil keputusan membeli atau menjual suatu saham? Toh, harganya tidak sesuai dengan ekspektasi kita.

Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan bagaimana harga saham terbentuk dan bergerak. Jumlah investor di bursa saham sangatlah banyak. Menurut data terakhir, saat ini jumlah investor yang terdaftar di BEJ adalah sekitar 300.000. Walaupun jumlah investor di BEJ tidaklah terlalu banyak apabila dibandingkan dengan jumlah investor di NYSE (New York Stock Exchange), namun jumlah ini sudah relatif besar. Setiap harinya saham-saham yang terdaftar di BEJ akan diperdagangkan oleh para investor tersebut. Sebagai gambaran sederhana, proses terbentuknya harga suatu saham adalah sebagai berikut:

Investor X ingin membeli saham A pada harga Rp 980,00
Investor Y ingin menjual saham A pada harga Rp 1.100,00

Pada kondisi seperti itu, tidak akan terjadi transaksi pada saham A karena harga yang diinginkan oleh kedua investor tersebut untuk melakukan transaksi tidak cocok. Bagaimana jika kemudian datang investor Z yang bersedia untuk menjual saham A di harga Rp 970,00? Karena penawaran jual investor Z tersebut lebih rendah dari harga pembelian yang diinginkan oleh investor X, maka terjadilah transaksi untuk saham A di harga Rp 980,00. Mengapa Rp 980,00? Penawaran beli terakhir untuk saham A adalah Rp 980,00. Jadi walaupun investor Z sudah bersedia untuk menjual sahamnya di harga Rp 970,00, BEJ tetap akan mencatat transaksi di harga Rp 980,00. Sebagai akibatnya harga saham A yang awalnya Rp 1.000,00 turun menjadi Rp 980,00.

Di bursa saham, tentu saja investor yang terlibat dalam perdagangan tidak hanya tiga orang seperti gambaran saya tersebut melainkan ratusan bahkan ribuan. Setiap investor memiliki harapan yang berbeda-beda terhadap harga suatu saham. Hal inilah yang menyebabkan harga suatu saham akan terus bergerak secara dinamis. Peranan apakah yang dimainkan oleh “realitas” dan “persepsi” seperti yang tertera pada judul tulisan saya ini?

Jika seorang investor telah menggunakan asumsi yang tepat dan melakukan perhitungan dengan cermat untuk menilai harga suatu saham, maka dapat kita katakan bahwa realitanya, harga saham tersebut (sebagai contoh adalah saham A) adalah Rp 1.400,00. Lho, bukankah kenyataannya harga saham A sekarang adalah Rp 900,00? Mengapa saya mengatakan bahwa kenyataannya harga saham A adalah Rp 1.400,00?

Seperti yang telah saya kemukakan di atas, investor tersebut telah menggunakan asumsi yang tepat. Hal ini akan menjadi dasar yang sangat baik dalam melakukan penilaian suatu saham. Setelah menetapkan asumsi yang akan digunakan, investor tersebut melakukan perhitungan nilai wajar saham tersebut dengan cermat. Artinya, investor tersebut menggunakan metode penilaian yang tepat dan tidak melakukan kesalahan dalam melakukan perhitungan. Secara logis, dapat dikatakan bahwa hasil penilaian investor tersebut adalah tepat. Harga yang wajar untuk saham A adalah Rp 1.400,00 dan bukan Rp 900,00 seperti saat ini. Penurunan harga yang terjadi merupakan akibat dari persepsi mayoritas investor terhadap saham A. Tidak semua investor dapat memperkirakan nilai wajar suatu saham dengan tepat. Ada investor yang hanya mengandalkan perasaan dalam mengambil keputusan. Ada investor yang membeli suatu saham karena di waktu yang lalu dia pernah mendapatkan keuntungan yang banyak dari saham tersebut. Masih banyak lagi motif investor dalam mengambil keputusan untuk membeli saham A seperti contoh kita ini.

Nah, sekarang mulai terlihat jelas perbedaan antara “persepsi” dan “realitas”. Anda tentu akan bertanya kembali, mengapa kita harus bersusah payah menganalisis saham yan akan kita beli kalau terdapat berbagai macam persepsi yang berbeda-beda terhadap harga saham tersebut? Well, memang terdapat kemungkinan persepsi mayoritas investor terhadap suatu saham akan menimbulkan bias yang tercermin pada harga saham tersebut. Meminjam istilah George Soros, terdapat divergensi antara realitas dan persepsi. Seringkali divergensi yang semakin melebar akan membuat harga saham sangat jauh menyimpang dari kenyataan. Pada kondisi seperti ini, kita mengatakan bahwa para investor bersikap “over-react”. Jika kejadiannya seperti saham B pada cerita kita sebelumnya, divergensi yang semakin melebar akan menimbulkan bubble yang dapat pecah sewaktu-waktu karena harapan mayoritas investor akan kenaikan harga saham B bertabrakan dengan realitas bahwa saham B hanyalah bernilai Rp 800,00. Kapan? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Yang pasti, semakin lama bubble berlangsung, kemungkinan untuk pecah sewaktu-waktu akan semakin besar.

Seorang investor yang berpikir secara rasional tetap akan menghadapi kemungkinan mengalami kerugian. Demikian halnya dengan investor yang irasional. Perbedaannya, jika harga saham yang dimiliki tidak sesuai dengan harapan, investor yang rasional masih dapat berharap suatu saat harga akan berbalik sesuai dengan harapan mereka karena dasar dalam pengambilan keputusan bertransaksi adalah akal sehat. Seorang investor yang bertindak secara irasional tidak memiliki dasar yang kuat dalam pengambilan keputusan. Pada saat keadaan berbalik, mereka tidak akan memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan posisi mereka di saham yang mereka miliki.

Saya teringat pada seorang rekan saya yang mengatakan bahwa jika kita tidak tahu harus berbuat apa, gunakanlah akal sehat. Setidaknya dengan menggunakan akal sehat, kita masih mempunyai pegangan yang kuat apabila keadaan berbalik melawan kita. Sebuah nasihat yang bijaksana!

Selamat berinvestasi!
Baca selengkapnya ..

Perilaku IHSG di masa lalu

Kondisi market yang tidak menentu sekarang ini menyentil saya untuk mencoba mengolah data masa lalu IHSG. Di sini saya akan mencoba mencari efek musiman IHSG. Bulan apa saja return IHSG tertinggi dan terendah?Bagaimana perilaku IHSG saat Pemilu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan saya coba jawab melalui artikel ini.

Artikel ini khusus ditujukan untuk investor reksa dana saham walaupun tidak tertutup kemungkinan investor reksa dana campuran juga melihat karena RDC juga mengandung komponen saham.

Berdasarkan data bulanan IHSG dari tahun 1989 s.d 2008, ada beberapa hal menarik yang didapatkan. Saya menggunakan data IHSG karena return RDS secara umum biasanya tidak jauh berbeda dengan pergerakan IHSG.

Pada bulan apakah return IHSG tertinggi dan terendah?



Return bulanan rata2 tertinggi IHSG dicapai pada bulan Desember, yaitu 4.44%. Return rata2 bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu -3.35%.

Berdasarkan tabel di atas, secara statistik waktu top up terbaik adalah pada akhir bulan September. Kalau pengen lebih sering, top up selanjutnya bisa dilakukan pada akhir bulan Maret.

Kapan waktu top up yg tepat kalau pengen top up lebih sering lagi?



Tabel di atas menunjukkan jumlah kejadian IHSG minus selama x bulan. Sebagai contoh, dari tahun 1989 s.d mei 2008, ada 17 kejadian di mana IHSG minus selama 2 bulan berturut-turut sebelum plus lagi bulan depannya.

Jumlah kejadian terbanyak adalah minus selama 1 bulan (22 kali), dan minus selama 2 bulan (17 kali). Kesimpulannya, top up rutin bulanan adalah metode yang cukup baik.


Bagaimana perilaku IHSG selama Pemilu?

Banyak pihak yang cukup khawatir bahwa Pemilu akan menyebabkan IHSG berpotensi melemah. Hal tersebut cukup beralasan mengingat adanya potensi ketidakstabilan politik selama berlangsungnya Pemilu tahun depan. Untuk itu, tidak ada salahnya kita mereview kembali bagaimana perilaku IHSG saat 2 Pemilu yang lalu(tahun 1999 dan 2004). Khusus tahun 2004, terdapat 2 Pemilu yaitu pemilu untuk menentukan calon legislatif dan pemilu untuk menentukan calon Presiden.

Berikut adalah datanya:
Tahun 1999 --> pemilu dilaksanakan pada tanggall 7 Juni
Tahun 2004 --> pemilu legislatif 5 april, pemilu Presiden tanggal 5 juli

IHSG selama Pemilu 1999:

IHSG dibuka di 411.93 dan pada akhir tahun ditutup 676.92 (naik 64%)

Perilaku IHSG selama Pemilu tahun 2004:

IHSG dibuka di 752.93 dan ditutup di 1,000.23 (naik 33%)

Pada bulan dilaksanakannya pemilu, baik pada tahun 1999 maupun tahun 2004 (diblok warna hijau) terlihat IHSG justru meningkat.

Tentu saja data di atas adalah data yang telah lalu dan belum tentu bisa menggambarkan kondisi ke depannya. Akan tetapi paling tidak kita sebagai investor bisa berjaga-jaga :)
Baca selengkapnya ..

Strategi Dollar Cost Averaging (DCA)

Salah satu strategi yang populer dalam berinvestasi di reksa dana adalah Dollar Cost Averaging (DCA). Konsep dari strategi ini adalah melakukan investasi yang rutin dalam jumlah yang sama tanpa memperdulikan berapa NAB saat itu. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengurangi risiko yang muncul jika kita berinvestasi secara lump-sum.
Dengan DCA, kita bisa terhindar dari kerugian yang lebih besar saat market turun setelah kita melakukan investasi.

Tentu saja ada beberapa hal yang harus kita korbankan jika kita menerapkan strategi ini:
  • Dalam jangka panjang, umumnya metode DCA akan memberikan return yang lebih rendah daripada metode lump-sum walaupun bisa saja DCA lebih besar returnnya jika kita melakukan lump-sum saat market mencapai nilai tertinggi.

  • Horison investasi yang terlalu pendek akan menyebabkan return yang kita dapatkan tidak optimal karena dana yang kita investasikan belakangan akan mendapatkan return yang lebih rendah.

Walaupun memiliki beberapa kekurangan, DCA menjadi strategi yang populer karena memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
  • Dengan berinvestasi secara rutin, kemungkinan kita terkena imbas kejatuhan market yang dalam semakin kecil. Dengan kata lain, DCA memperkecil volatilitas investasi kita.

  • Dengan DCA, kita bisa ’mencicil’ investasi kita. Kita tidak perlu menyiapkan dana dalam jumlah banyak sekaligus untuk berinvestasi.

  • Konsep berinvestasi secara rutin akan mengurangi unsur subjektivitas kita dalam berinvestasi.

  • DCA merupakan strategi yang sederhana dan cukup tepat bagi investor pemula karena tidak perlu memikirkan market timing dalam berinvestasi.

Strategi DCA ini akan lebih efektif jika market sangat fluktuatif. Saat market bullish, maka kinerja DCA akan tertinggal jauh dari metode lump-sum. Saat market bearish, DCA akan bekerja lebih baik daripada metode lump-sum. Pada saat market bearish, ada baiknya DCA digabungkan dengan metode 'buy on weakness' agar lebih optimal.

Jika kita menerapkan strategi DCA, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Yang pertama adalah horison investasi kita. Kita sebaiknya menetapkan seberapa jauh horison investasi kita agar dapat menetapkan berapa jumlah yang akan kita investasikan secara rutin. Penentuan horison investasi ini juga berguna untuk mencapai tujuan investasi kita.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah seberapa rutin kita akan berinvestasi. Apakah bulanan, 6 bulanan, atau tahunan. Semakin lama jarak antar investasi, maka investasi kita akan semakin investasi lump-sum.

Untuk mengatasi kelemahan strategi DCA yaitu return yang lebih kecil daripada metode lump-sum, ada beberapa strategi yang dapat kita terapkan antara lain 'buy on weakness' dan market timing dengan moving average. Kedua strategi ini akan saya bahas pada bagian selanjutnya.
Baca selengkapnya ..

Mengetahui Volatilitas Reksadana, Perlukah?

Saat berinvestasi di instrumen reksadana, mungkin sebagian dari kita hanya mempertimbangkan MI yang ‘bonafid’ serta catatan return masa lalu yang cukup tinggi. Memang cara tersebut adalah cara yang termudah. Lagi pula, reksadana memang didesain agar investor tidak perlu memusingkan bagaimana mengalokasikan dana untuk berinvestasi. Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai reksadana Anda, salah satu parameter yang bisa kita perhatikan adalah volatilitas. Apa itu volatilitas? Volatilitas adalah kecepatan naik turunnya return sebuah reksadana. Volatilitas tidak hanya terbatas pada reksadana namun juga seluruh instrumen investasi, baik saham, emas, obligasi atau instrumen-instrumen lainnya. Semakin tinggi volatilitasnya, maka ’kepastian’ return suatu reksadana semakin rendah. Biasanya yang digunakan untuk mengukur volatilitas adalah standar deviasi. Nilai standar deviasi suatu reksadana dapat dihitung menggunakan Microsoft Excel.
Volatilitas itu bagaikan pedang bermata dua. Semakin tinggi volatilitas, maka potensi return akan semakin tinggi. Volatilitas yang rendah menunjukkan kestabilan nilai return, akan tetapi umumnya returnnya tidak terlalu tinggi. Cukup adil bukan?
Sekarang coba kita mencoba lebih memahami arti dari volatilitas. Mulai saat ini, saya akan mengganti volatilitas dengan standar deviasi. Perhatikan contoh berikut:
Katakanlah kita memiliki data return selama 5 tahun dari 2 buah reksadana :



Return rata-rata kedua buah reksadana tersebut sama, yaitu 10% per tahun. Perbedaan yang sangat mencolok adalah standar deviasinya yaitu 28,9% untuk reksadana A dan 2,52% untuk reksadana B. Kalau kita perhatikan lebih teliti, terlihat bahwa return reksadana A sangat fluktuatif dan bahkan mengalami nilai negatif di tahun ke-2 dan tahun ke-4 sedangkan return reksadana B cukup stabil.
Seandainya kita memiliki dana sebesar Rp 10 juta yang akan kita investasikan, maka kita buat dahulu simulasi bagaimana perkembangan dana kita jika diinvestasikan ke kedua reksadana tersebut.



Jika dana tersebut kita investasikan selama 5 tahun, maka pada akhir tahun ke-5 kedua reksadana akan menghasilkan gain yang sama. Jumlah investasi kita akan menjadi Rp 16 juta.
Namun bagaimana seandainya pada akhir tahun ke-4 tiba-tiba kita ada keperluan mendadak sehingga kita membutuhkan dana yang sedang kita investasikan tersebut? Jika kita investasikan dana kita di reksadana A, maka nilai dana kita hanya Rp12,8 juta. Namun apa yang terjadi jika kita menginvestasikan dana kita di reksadana B?Ternyata dana kita telah tumbuh lebih besar yaitu menjadi Rp 15 juta.
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa selain return, kita juga perlu memperhatikan bagaimana return itu dicapai. Apakah return reksadana kita dicapai oleh MI dengan menempuh risiko yang tidak perlu sehingga volatilitas(fluktuasi) returnnya menjadi tinggi? Ataukah MI dapat berinvestasi dengan lebih ’kalem’ sehingga jumlah return yang sama dapat dicapai tanpa mengakibatkan fluktuasi return yang berlebihan?
Tentu saja dalam jangka yang cukup panjang, biasanya reksadana yang volatilitasnya tinggi (misal reksadana saham) returnnya lebih tinggi daripada return dari reksadana pendapatan tetap. Untuk kelas aset yang berbeda seringkali kita tidak dapat menghindari risiko yang ditimbulkan oleh karakter instrumen itu sendiri.
Sebagai investor, kita memiliki 2 pilihan : ’eat well’ atau ’sleep well’
Selamat berinvestasi!
Baca selengkapnya ..

Antara Jakarta, New York, dan Shanghai

Tentu sebagian pembaca akan bertanya-tanya, apakah yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini? Ada beberapa kemungkinan mengenai topik yang akan saya sampaikan. Sebagian dari Anda mungkin berpikir mengenai liburan yang menyenangkan bersama keluarga di kota-kota tersebut (bagi yang bertempat tinggal di luar kota Jakarta). Warga Jakarta sendiri sepertinya tidak banyak yang menyadari bahwa kota mereka adalah tempat liburan karena sudah terlalu lelah bergulat dengan kemacetan, keruwetan, dan panasnya ibukota tercinta ini. Beberapa dari Anda mungkin berpikir bahwa tulisan ini bermuatan politis. Tidak, tidak. Saya tidak akan berbicara mengenai politik di sini. Lalu apa?

Sampai dengan awal tahun 90-an orang hanya berpikir bahwa pusat perekonomian dunia adalah Amerika Serikat. Jika saya menyebutkan kata "Dow Jones", kita akan membayangkan sebuah bursa saham yang dipenuhi oleh pialang yang sedang sibuk menelepon ke seluruh dunia. Kalau perlu bahkan menggunakan dua pesawat telepon di kedua telinganya. Gambaran tersebut diperkuat oleh promosi Hollywood yang luar biasa dan memang pada kenyataannya kurang lebih seperti itu.

Saya akan mencoba membawa Anda maju ke pertengahan 90-an. Pada saat itu pemerintah Cina mulai membuka keran selebar-lebarnya kepada investor di seluruh dunia untuk berinvestasi di negerinya (sebenarnya kebijakan tersebut telah dimulai dari 25 tahun yang lalu). Suatu hal yang bertolak belakang dengan bayangan kita mengenai Cina yang sangat tertutup terhadap dunia luar. Pembangunan yang sedang berjalan di sana bisa dikatakan sebagai suatu keajaiban karena belum pernah terjadi sebelumnya di negara manapun. Para politikus di Amerika Serikat sebelumnya akan merasa bahwa kebijakan ekonominya berhasil apabila perekonomiannya tumbuh di atas 4% per tahun. Pertumbuhan ekonomi di antara 2% sampai dengan 4% merupakan suatu kenyamanan. Pertumbuhan ekonomi di bawah 2% merupakan malapetaka politik.

Namun apa yang terjadi di Cina? Pemerintahnya sendiri telah mengatakan bahwa perekonomian negaranya harus tumbuh di atas 7% per tahun agar tenaga kerja yang sangat banyak dapat terserap. Saat ini kita akan dengan mudah menemukan barang dengan label “Made in China” jika dibandingkan dengan barang “Made in USA”. Sangat berbeda dengan kondisi beberapa puluh tahun yang lalu. Cina telah menjadi mimpi buruk bagi Paman Sam. Apakah Anda menyadari bahwa sebagian besar pakaian yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta adalah buatan Cina? Para penjual menyukai pakaian buatan Cina karena modelnya yang bagus dengan harga yang terjangkau. Demikian pula dengan konsumen. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai keterpurukan produsen pakaian dalam negeri yang tertatih-tatih didera oleh mahalnya bahan baku.

Hal-hal di atas telah memenuhi isi berita sebuah surat kabar ataupun portal berita dari waktu ke waktu dan dari berbagai macam perspektif. Apakah pernah terbayang dua puluh tahun yang lalu kita dapat mengikuti perkembangan perubahan kekuatan ekonomi tersebut dengan begitu cepatnya sehingga kita bisa merasakan perubahan tersebut seakan-akan kita berada di dalamnya?

Baiklah, saya akan menuju ke topik yang ingin saya bicarakan. Topik yang akan saya angkat adalah “informasi”. Saya mengasumsikan bahwa Anda telah menikmati hasil dari kemajuan teknologi informasi. Dahulu saat saya masih tinggal di Surabaya, saya menerima koran terbitan Jakarta baru pada pukul 9 pagi karena harus dikirimkan dari Jakarta ke Surabaya terlebih dahulu. Sekarang, soft copy surat kabar yang telah siap naik cetak pada tengah malam dapat langsung dikirimkan ke kota tujuan untuk kemudian dicetak di sana. Hasilnya, para pelanggan surat kabar di seluruh Indonesia dapat menikmati surat kabar dalam waktu yang bersamaan dengan pelanggan di Jakarta yang menerima surat kabarnya dari loper koran. Lebih ekstrim lagi adalah portal berita di Internet yang saat ini telah menjadi sumber berita kita dan bahkan mulai menggantikan posisi surat kabar. Kita dapat mengetahui berita yang berasal dari belahan dunia lain hanya dalam hitungan detik. Tentu saja apabila koneksi kita bukan dial-up yang lambat.

Hal yang sama berlaku di dunia pasar modal. Informasi real time dari seluruh penjuru dunia akan muncul dalam bentuk ticker di layar televisi. Dua dasawarsa yang lalu para pialang dan pelaku pasar modal lainnya bertukar informasi melalui telepon atau facsimile. Akan tetapi, seberapa banyak dan seberapa cepat informasi yang dapat disampaikan oleh kedua media tersebut? Efek yang paling kentara adalah sensitivitas pergerakan harga saham di BEJ terhadap sesuatu yang terjadi di New York, Shanghai ataupun kota-kota lainnya di dunia. Seringkali tanpa kita sadari harga suatu saham telah jauh meninggalkan kita yang baru mendapatkan beritanya beberapa saat sesudahnya.

Dosen saya pernah mengatakan bahwa orang-orang di bursa itu pintar-pintar. Pendapat tersebut ada benarnya. Kita harus berpikir ulang apakah benar jika kita handal dalam menaksir nilai suatu saham maka kita akan mendapatkan keuntungan jika membeli saham tersebut. Saya percaya bahwa para analis pasar modal akan mampu melakukan apa yang telah kita lakukan dalam menilai suatu saham, bahkan dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi. Sampai pada pernyataan tersebut saya teringat kembali pada Teori Pasar Efisien. Seseorang tidak akan bisa memperoleh imbal hasil abnormal secara terus menerus berdasarkan informasi mengenai suatu sekuritas yang telah dipublikasikan. Teori tersebut seakan-akan mendapatkan angin segar di era informasi ini.

Kata kuncinya di sini adalah “kecepatan”. Seberapa cepatkah kita mendapatkan suatu informasi penting yang akan mempengaruhi harga suatu saham? Informasi mengenai kebakaran suatu pabrik milik sebuah perusahaan multinasional di Shanghai akan tersebar dalam waktu singkat melalui backbone fiber optik dan tersebar ke seluruh dunia. Dalam waktu yang nyaris bersamaan harga saham di bursa-bursa termpat perusahaan tersebut terdaftar akan menukik tajam. Tentu saja cerita saya tersebut hanyalah sebuah rekaan. Akan tetapi apa yang terjadi kira-kira akan seperti itu di era informasi ini. Jaringan Internet saat ini telah mampu menyediakan data up to date dalam waktu yang sangat singkat. Sebuah kemewahan yang dahulu hanya didapatkan oleh para manajer investasi besar. Sekarang ini mereka harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan hasil investasi yang melebihi investor kecil.

Hal penting lainnya adalah kemampuan kita untuk memilah-milah informasi yang telah kita dapatkan. Jika Anda pernah mempelajari teknologi informasi tentu mengetahui bahwa dalam arsitektur jaringan, Internet digambarkan sebagai awan. Dalam konteks tulisan ini mungkin lebih tepat jika saya mengatakan bahwa jaringan Internet adalah hutan rimba. Banyaknya informasi yang terdapat di sana akan dengan mudah menyesatkan apabila kita tidak mengetahui apa yang kita cari. Banjir informasi yang kita dapatkan setiap waktu akan memperbesar kemungkinan kita melewatkan satu atau dua informasi yang sangat penting. Tentu saja hal tersebut tidak kalah buruknya dengan informasi yang terlambat kita terima.

Saya hendak mengatakan bahwa teknologi informasi telah membawa kita kepada pemahaman baru mengenai dunia investasi. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu yang telah kita pelajari selama ini tidak berguna. Fundamental dari ilmu mengenai investasi tetaplah sama, hanya saja kita harus merubah cara pandang kita dalam berinvestasi terutama yang berkaitan dengan pergerakan informasi yang menyebabkan interaksi antar elemen di dalamnya semakin dinamis.

Kita harus bergerak lebih cepat menangkap suatu informasi. Kita tidak harus benar-benar melintas antar benua menuju New York atau Shanghai untuk mendapatkan sebuah informasi. Kita hanya perlu duduk di depan komputer kita dan menyaksikan keajaiban teknologi informasi bekerja sambil meminum secangkir kopi hangat di pagi hari yang cerah. Nyaman sekali bukan hidup ini?
Baca selengkapnya ..