Reksa Dana Saham di Tengah Badai

Tidak terasa sudah hampir setahun sejak krisis subprime mortgage dan harga minyak pertama kali melanda dunia. Krisis subprime mortgage ini memang dimulai di US, namun imbasnya terasa di bursa saham seluruh dunia, termasuk BEI. Yang lebih membuat keadaan menjadi lebih runyam, ketika krisis subprime mortgage mulai mereda, harga minyak kembali meroket dan dengan segera memicu inflasi. Saat ini harga crude oil tertinggi tercatat adalah USD 142 per barrel. Perlahan tetapi pasti, harga minyak terus-menerus menemukan titik tertinggi yang baru. Kenaikan harga minyak ini kemudian diperburuk dengan kenaikan harga komoditas lainnya.

Sebagai seorang investor reksa dana, tentu kita tidak luput dari kecemasan terhadap kondisi perekonomian dunia saat ini. Tidak dapat dipungkiri, US sedang dalam masa resesi. Inflasi mulai menghantui perekonomian negara adidaya tersebut. Indonesia pun tidak luput dari ancaman inflasi tinggi. Target inflasi 2008 sebesar 6% semakin jauh dari kenyataan. Saat ini kita sedang menghadapi ancaman tingkat inflasi dua digit. Ketidakpastian kondisi ekonomi global ini membuat BEI juga terguncang naik turun. Dalam pengamatan saya, dari bulan Agustus 2007 sampai dengan saat ini, terdapat paling tidak 3 gelombang naik turun yang besar. Sebagai investor reksa dana saham, kondisi tersebut tentu saja kurang menguntungkan. Mari kita perhatikan grafik perkembangan IHSG pada kurun waktu tersebut.



Terlihat bahwa terdapat 3 periode bearish dan ada 3 periode bullish. Titik-titik yang saya sebutkan adalah titik ekstrim tertinggi dan terendah, bukan harga penutupan.

Periode bearish:
I --> 26 Jul 07 - 18 Aug 07 (dari 2405.96 turun menjadi 1863.96)
II --> 14 Jan 08 - 22 Jan 08 (dari 2838.48 turun menjadi 2231.48)
III --> 26 Feb 08 - 10 Apr 08 (dari 2773.43 turun menjadi 2254.07)

Periode bullish:
I --> 18 Aug 08 - 14 Jan 08 (dari 1863.96 naik menjadi 2838.48)
II --> 22 jan 08 - 26 Feb 08 (dari 2231.48 naik menjadi 2773.43)
III --> 10 Apr 08 - 23 May 08 (dari 2254.07 naik menjadi 2516.26)


Sebagai informasi, saat ini IHSG sedang dalam periode bearish IV. Pada tanggal 27 Juni 2008, IHSG ditutup di 2341.36.

Walaupun IHSG selama 1 tahun belakangan ini sangat fluktuatif, ada pelajaran yang dapat kita petik. Pada kondisi pasar dalam badai seperti inilah kita akan dapat melihat reksa dana mana yang dapat melaluinya dengan baik. Analisa saya batasi untuk reksa dana saham saja karena kinerja reksa dana sahamlah yang sangat terkait dengan pergerakan IHSG.

Mari kita coba analisa periode-periode tersebut satu persatu. Sebagai informasi, Bear Score dan Bull Score menunjukkan berapa return maksimum kita jika masuk dengan timing yang sangat tepat.


KINERJA RDS PADA PERIODE BEARISH I, II, dan III
Score RDS saat bearish dapat dilihat di tabel di bawah ini.



Bear score dihitung dengan cara : Bear Score = ((1+rbear1)*(1+rbear2)*(1+rbear3))-1
Bear score menghitung return kumulatif jika kita subscribe reksa dana saham di puncak IHSG dan kemudian melakukan redeem di titik terbawah IHSG pada ketiga periode bearish tersebut.

Terlihat bahwa reksa dana BIG Palapa menduduki peringkat tertinggi dengan Bear Score -35.69%. Artinya jika kita sial masuk saat IHSG sedang tinggi-tingginya dan keluar saat IHSG mencapai titik terendah berulang kali, kita 'hanya' mengalami loss -35.69%. Peringkat kinerja terbaik kedua pada periode bearish ini adalah reksa dana Panin Dana Maksima dengan bear score -36.39%, hanya berbeda sedikit dengan BIG Palapa. Peringkat selanjutnya diduduki oleh reksa dana Optima Saham dengan bear score -38.39%.

Pada periode bearish ini, kinerja terburuk ditunjukkan oleh reksa dana Grow 2 Prosper yang drop -57.01% jika kita berinvestasi dengan timing yang tidak tepat. Kinerja terburuk kedua ditunjukkan oleh reksa dana Trim Kapital dengan bear score -56.42%. Kinerja terburuk selanjutnya ditunjukkan oleh reksa dana Si Dana Saham Optimal dengan bear score -55.35%.


KINERJA RDS PADA PERIODE BULLISH I, II, dan III

Perhitungan Bull Score sama dengan Bear Score, yaitu return kumulatif dari 3 periode bullish.
Bull Score menghitung berapa return kita jika kita selama periode pengamatan masuk di titik terbawah IHSG dan keluar di titik tertinggi IHSG pada periode bullish tersebut.



Selama kurun waktu tersebut, kinerja terbaik ditunjukkan Mega Dana Saham dengan Bull Score 158.02%. Kinerja terbaik kedua ditunjukkan oleh reksa dana Euro Peregrine Equity dengan bull score 141.28%. Kinerja terbaik ketiga ditunjukkan oleh reksa dana Pratama Saham dengan bull score 135.67%

Kinerja terendah pada periode-periode bullish ditunjukkan oleh reksa dana Panin Dana Maksima dengan score 46.62%. Hal ini cukup mengejutkan mengingat Panin Dana Maksima menempati peringkat terbaik kedua untuk kinerja di masa bearish. Hal ini menjadi indikasi bahwa sensitivitas reksa dana ini terhadap pergerakan IHSG cukup rendah. Kinerja terendah kedua ditunjukkan oleh reksa dana Lautandhana Equity dengan bull score 50.94% sedangkan kinerja terbaik ketiga ditunjukkan oleh reksa dana BIG Palapa dengan bull score 52.33%. Kejadian yang terjadi pada Panin Dana Maksima terulang pada BIG Palapa. Hal ini semakin menguatkan dugaaan bahwa kedua reksa dana tersebut tidak terlalu sensitif terhadap pergerakan IHSG.


KINERJA RDS SELAMA KESELURUHAN PERIODE PENGAMATAN
Pada kondisi yang fluktuatif seperti saat ini, masih ada investor long term yang menerapkan strategi ‘buy n hold’. Apapun yang terjadi, investor jenis ini akan tetap bertahan (termasuk saya mungkin  ). Jika kita menerapkan strategi ‘buy and hold’ dari tanggal 26 Jul 07 sampai dengan 23 May 08, maka kinerja RDS kita adalah sebagai berikut:



Kinerja buy and hold ditunjukkan oleh survival score.

Terlihat bahwa Euro Peregrine Equity menduduki peringkat tertinggi dengan return 37.07% dan diikuti oleh Syailendra Equity Opportunity Fund dengan return 25.10%. Kinerja terbaik ketiga ditunjukkan oleh reksa dana GMT Dana Ekuitas dengan return 20.37%.

Kinerja buy n hold terburuk ditunjukkan oleh Lautandhana Equity dengan return -29.27% yang diikuti oleh reksa dana Paramitra Premium dengan return -28.18%. Kinerja terburuk selanjutnya ditunjukkan oleh reksa dana BNI Reksadana Berkembang dengan return -19.43%.

Sekian analisa singkat kinerja reksa dana saham selama krisis ini. Dengan adanya pemisahan periode-periode bullish dan bearish, kita dapat melihat bagaimana kemampuan stock picking dan market timing para MI reksa dana saham pada kondisi yang terbaik maupun terburuk.

Semoga kita semua selamat :)

Disclaimer:
Analisa ini merupakan analisa pribadi dan bukan anjuran untuk membeli atau menjual suatu reksa dana tertentu.

Baca selengkapnya ..

Bapepam to Found Mutual Fund Rating Firm

StockWatch (Jakarta) - The Capital Market and Financial Institution Supervisory Board (Bapepam LK) is making a plan to found a mutual fund rating firm, Bapepam's head of bureau for investment management, Joko Hendarto, said.

"The rating agency is necessary as it will give an investor a more comprehensive outlook on a mutual fund product," Hendarto said when speaking in a capital market workshop held on Thursday (19/6) in Jakarta.

"So far, there's no mutual fund rating agency in Indonesia, because of, among others, the maturity period of mutual fund which is only five years - which is meant to avoid tax. In fact, a rating requires a long historical track," Hendarto said.

Besides, he said further, Bapepam is preparing to establish a bond valuation institution. "Until recently, bond transactions are done by individuals. Going forward, the institution will make a fair valuation on certain bonds as in stocks which have their valuations recorded in IDX trading chart," he described. (adhi/was)

source : http://www.e-bursa.com/index.php?MODE=1

Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Dengan adanya badan rating reksa dana yang resmi, maka investor sekarang bisa lebih cermat dalam memilih reksa dana.

Di US, salah satu perusahaan yang memberikan rating adalah Morningstar. Morningstar melakukan pemeringkatan reksa dana berdasarkan Sharpe ratio dengan pembobotan. Kita tunggu saja metode rating apa yang akan digunakan oleh Bapepam.
Baca selengkapnya ..

Mengenal Risk and Reward

Mengenal Risiko Investasi
Dalam berinvestasi, selain return kita juga harus memperhatikan risiko yang harus kita ambil untuk mendapatkan return tersebut. Jika dua aset berpotensi memberikan return yang sama namun dengan tingkat fluktuasi yang berbeda, tentu kita akan memilih aset dengan tingkat fluktuasi yang lebih rendah. Trade off antara return dengan volatilitasnya dapat dilihat di sini.

Perbandingan antara return dengan volatilitasnya hanyalah satu dari beberapa parameter yang dapat digunakan untuk mengukur risk to reward ratio. Nama yang lebih populer untuk ratio ini adalah risk-ajusted return, return setelah dinormalisasi dengan risiko. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai risk-adjusted return ini, ada baiknya kita mengenal apa itu risiko.

Risiko adalah hal-hal yang dapat menyebabkan ketidakstabilan return investasi kita. Risiko itu dapat berupa unsystematic risk, yaitu risiko individual yang terkandung dalam suatu aset. Risiko dapat juga berupa systematic risk, yaitu risiko yang diakibatkan oleh market secara keseluruhan, misalnya suku bunga, inflasi, atau harga minyak. Unsystematic risk tidak terkait dengan risiko secara keseluruhan. Misalnya kurangnya kemampuan manajemen dalam suatu perusahaan. Risiko ini akan bersifat spesifik pada suatu perusahaan, demikian pula pengaruhnya terhadap harga sahamnya.

Sebagai investor, unsystematic risk dapat kita hindari dengan melakukan diversifikasi. Dengan diversifikasi, kita bisa meminimalisasikan risiko yang muncul dari suatu aset tertentu. Hal ini lah yang menyebabkan ETF semakin berkembang pesat di US. Sebaliknya, systematic risk lebih susah untuk dihindari karena berkaitan dengan kondisi market secara keseluruhan, seperti yang kita alami saat ini.

Mengukur Risiko Investasi
1. Standar deviasi --> Standar deviasi, bersama-sama dengan variance merupakan potensi penyimpangan dari return rata-rata suatu aset. Standar deviasi ini merupakan representasi dari unsystematic risk. Oleh karena itu, portfolio yang terdiversifikasi dengan baik akan memiliki standar deviasi yang rendah.
2. Beta --> Beta merupakan sensitivitas pergerakan suatu aset terhadap pergerakan market secara keseluruhan. Contoh: Jika Beta = 1, maka jika market naik 1%, maka aset juga akan naik sebesar 1%. Begitu pula jika market turun 1%. Aset tersebut juga akan turun sebesar 1%. Semakin besar beta, maka fluktuasi harga suatu aset akan semakin besar. Beta merepresentasikan systematic risk. Semakin besar beta, maka risiko suatu aset semakin besar.

Mengukur Risk to Reward
Berdasarkan pembahasan di atas, kita telah mengenal dua macam risiko investasi, yaitu systematic risk (beta) dan unsystematic risk (standar deviasi). Risk to reward ratio merupakan ratio yang didapatkan dengan membandingkan return dengan kedua jenis risiko tersebut.
Ada 2 macam risk to reward ratio yang terkenal:
1. Sharpe Ratio --> Sharpe Ratio membandingkan selisih antara return aset dan risk free rate dengan standar deviasi dari aset tersebut. Dengan kata lain:


Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar Sharpe ratio adalah semakin baik.

2. Treynor Measure --> Membandingkan selisih antara return suatu aset dan risk free rate dengan systematic risknya(beta). Dengan kata lain:



Sama seperti sharpe ratio, semakin besar Treynor Measure, maka semakin baik.

Karena bersifat relatif, baik Sharpe Ratio ataupun Treynor Measure nilainya akan berarti jika dibandingkan dengan nilai Sharpe Ratio ataupun Treynor Measure dari aset yang lain.

Apa kelebihan dari Sharpe Ratio dan Treynor Measure?
- Dapat digunakan untuk membandingkan kinerja satu aset dengan aset yang lain
- Relatif mudah untuk dihitung

Apa kelemahan dari Sharpe Ratio dan Treynor Measure?
Kita tidak bisa mengetahui apakah nilai kedua rasio tersebut tinggi karena return yang besar atau risiko yang rendah.

Baca selengkapnya ..

Sampaikan Topik yang Ingin Dibahas

Agar blog ini lebih berguna bagi kita semua, apabila Anda memiliki topik yang ingin dibahas, silakan masukkan di dalam form komentar di bawah ini. Sebisa mungkin akan saya coba untuk membahas topik tersebut :)

best regards,


-dunkz- Baca selengkapnya ..

Antara Realitas dan Persepsi Mengenai Realitas

Sebagai seorang investor, pernahkah Anda merasa kecewa karena saham yang telah Anda beli tidak kunjung naik harganya bahkan mungkin cenderung turun? Padahal sebelum Anda memutuskan untuk membeli saham tersebut Anda telah melakukan analisis secara mendalam. Anda tidak sendirian. Bahkan seorang analis yang sangat berpengalaman pun kemungkinan besar pernah mengalami hal yang sama. Mengapa hal itu bisa terjadi? Bukankah seorang analis yang profesional telah dibekali dengan berbagai macam ilmu untuk menilai harga wajar dari suatu saham? Apakah penilaian sang analis itu salah? Belum tentu!

Kebanyakan teori mengenai investasi didasarkan pada sebuah asumsi bahwa pelaku pasar akan bertindak secara rasional dalam mengambil keputusan. Asumsi ini pula yang melahirkan teori pasar efisien. Katakanlah saham A dan B saat ini diperdagangkan pada harga yang sama, yaitu Rp 1.000,00. Berdasarkan penilaian kita, harga saham A seharusnya bernilai Rp 1.400,00, sedangkan harga saham B berdasarkan metode yang sama seharusnya harganya hanya Rp 800,00. Sebagai seorang investor yang rasional, tentu saja kita akan memutuskan untuk membeli saham A yang harganya berpotensi untuk naik sebesar 40% dan tidak membeli saham B karena harganya sudah terlalu mahal. Apa yang terjadi? Setelah kita membeli sejumlah saham A, ternyata harganya turun menjadi Rp 900,00. Saham yang kita rasakan terlalu mahal malah naik menjadi Rp 1.300,00. Aneh bukan? Sekali lagi saya katakan, Anda tidak sendirian. Banyak sekali investor yang pernah mengalami hal seperti itu. Mungkin Anda akan bertanya, kalau memang harga suatu saham tidak bisa diprediksi, apa gunanya kita melakukan analisis yang rumit untuk mengambil keputusan membeli atau menjual suatu saham? Toh, harganya tidak sesuai dengan ekspektasi kita.

Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, saya akan menjelaskan bagaimana harga saham terbentuk dan bergerak. Jumlah investor di bursa saham sangatlah banyak. Menurut data terakhir, saat ini jumlah investor yang terdaftar di BEJ adalah sekitar 300.000. Walaupun jumlah investor di BEJ tidaklah terlalu banyak apabila dibandingkan dengan jumlah investor di NYSE (New York Stock Exchange), namun jumlah ini sudah relatif besar. Setiap harinya saham-saham yang terdaftar di BEJ akan diperdagangkan oleh para investor tersebut. Sebagai gambaran sederhana, proses terbentuknya harga suatu saham adalah sebagai berikut:

Investor X ingin membeli saham A pada harga Rp 980,00
Investor Y ingin menjual saham A pada harga Rp 1.100,00

Pada kondisi seperti itu, tidak akan terjadi transaksi pada saham A karena harga yang diinginkan oleh kedua investor tersebut untuk melakukan transaksi tidak cocok. Bagaimana jika kemudian datang investor Z yang bersedia untuk menjual saham A di harga Rp 970,00? Karena penawaran jual investor Z tersebut lebih rendah dari harga pembelian yang diinginkan oleh investor X, maka terjadilah transaksi untuk saham A di harga Rp 980,00. Mengapa Rp 980,00? Penawaran beli terakhir untuk saham A adalah Rp 980,00. Jadi walaupun investor Z sudah bersedia untuk menjual sahamnya di harga Rp 970,00, BEJ tetap akan mencatat transaksi di harga Rp 980,00. Sebagai akibatnya harga saham A yang awalnya Rp 1.000,00 turun menjadi Rp 980,00.

Di bursa saham, tentu saja investor yang terlibat dalam perdagangan tidak hanya tiga orang seperti gambaran saya tersebut melainkan ratusan bahkan ribuan. Setiap investor memiliki harapan yang berbeda-beda terhadap harga suatu saham. Hal inilah yang menyebabkan harga suatu saham akan terus bergerak secara dinamis. Peranan apakah yang dimainkan oleh “realitas” dan “persepsi” seperti yang tertera pada judul tulisan saya ini?

Jika seorang investor telah menggunakan asumsi yang tepat dan melakukan perhitungan dengan cermat untuk menilai harga suatu saham, maka dapat kita katakan bahwa realitanya, harga saham tersebut (sebagai contoh adalah saham A) adalah Rp 1.400,00. Lho, bukankah kenyataannya harga saham A sekarang adalah Rp 900,00? Mengapa saya mengatakan bahwa kenyataannya harga saham A adalah Rp 1.400,00?

Seperti yang telah saya kemukakan di atas, investor tersebut telah menggunakan asumsi yang tepat. Hal ini akan menjadi dasar yang sangat baik dalam melakukan penilaian suatu saham. Setelah menetapkan asumsi yang akan digunakan, investor tersebut melakukan perhitungan nilai wajar saham tersebut dengan cermat. Artinya, investor tersebut menggunakan metode penilaian yang tepat dan tidak melakukan kesalahan dalam melakukan perhitungan. Secara logis, dapat dikatakan bahwa hasil penilaian investor tersebut adalah tepat. Harga yang wajar untuk saham A adalah Rp 1.400,00 dan bukan Rp 900,00 seperti saat ini. Penurunan harga yang terjadi merupakan akibat dari persepsi mayoritas investor terhadap saham A. Tidak semua investor dapat memperkirakan nilai wajar suatu saham dengan tepat. Ada investor yang hanya mengandalkan perasaan dalam mengambil keputusan. Ada investor yang membeli suatu saham karena di waktu yang lalu dia pernah mendapatkan keuntungan yang banyak dari saham tersebut. Masih banyak lagi motif investor dalam mengambil keputusan untuk membeli saham A seperti contoh kita ini.

Nah, sekarang mulai terlihat jelas perbedaan antara “persepsi” dan “realitas”. Anda tentu akan bertanya kembali, mengapa kita harus bersusah payah menganalisis saham yan akan kita beli kalau terdapat berbagai macam persepsi yang berbeda-beda terhadap harga saham tersebut? Well, memang terdapat kemungkinan persepsi mayoritas investor terhadap suatu saham akan menimbulkan bias yang tercermin pada harga saham tersebut. Meminjam istilah George Soros, terdapat divergensi antara realitas dan persepsi. Seringkali divergensi yang semakin melebar akan membuat harga saham sangat jauh menyimpang dari kenyataan. Pada kondisi seperti ini, kita mengatakan bahwa para investor bersikap “over-react”. Jika kejadiannya seperti saham B pada cerita kita sebelumnya, divergensi yang semakin melebar akan menimbulkan bubble yang dapat pecah sewaktu-waktu karena harapan mayoritas investor akan kenaikan harga saham B bertabrakan dengan realitas bahwa saham B hanyalah bernilai Rp 800,00. Kapan? Pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Yang pasti, semakin lama bubble berlangsung, kemungkinan untuk pecah sewaktu-waktu akan semakin besar.

Seorang investor yang berpikir secara rasional tetap akan menghadapi kemungkinan mengalami kerugian. Demikian halnya dengan investor yang irasional. Perbedaannya, jika harga saham yang dimiliki tidak sesuai dengan harapan, investor yang rasional masih dapat berharap suatu saat harga akan berbalik sesuai dengan harapan mereka karena dasar dalam pengambilan keputusan bertransaksi adalah akal sehat. Seorang investor yang bertindak secara irasional tidak memiliki dasar yang kuat dalam pengambilan keputusan. Pada saat keadaan berbalik, mereka tidak akan memiliki alasan yang kuat untuk mempertahankan posisi mereka di saham yang mereka miliki.

Saya teringat pada seorang rekan saya yang mengatakan bahwa jika kita tidak tahu harus berbuat apa, gunakanlah akal sehat. Setidaknya dengan menggunakan akal sehat, kita masih mempunyai pegangan yang kuat apabila keadaan berbalik melawan kita. Sebuah nasihat yang bijaksana!

Selamat berinvestasi!
Baca selengkapnya ..

Perilaku IHSG di masa lalu

Kondisi market yang tidak menentu sekarang ini menyentil saya untuk mencoba mengolah data masa lalu IHSG. Di sini saya akan mencoba mencari efek musiman IHSG. Bulan apa saja return IHSG tertinggi dan terendah?Bagaimana perilaku IHSG saat Pemilu? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan saya coba jawab melalui artikel ini.

Artikel ini khusus ditujukan untuk investor reksa dana saham walaupun tidak tertutup kemungkinan investor reksa dana campuran juga melihat karena RDC juga mengandung komponen saham.

Berdasarkan data bulanan IHSG dari tahun 1989 s.d 2008, ada beberapa hal menarik yang didapatkan. Saya menggunakan data IHSG karena return RDS secara umum biasanya tidak jauh berbeda dengan pergerakan IHSG.

Pada bulan apakah return IHSG tertinggi dan terendah?



Return bulanan rata2 tertinggi IHSG dicapai pada bulan Desember, yaitu 4.44%. Return rata2 bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu -3.35%.

Berdasarkan tabel di atas, secara statistik waktu top up terbaik adalah pada akhir bulan September. Kalau pengen lebih sering, top up selanjutnya bisa dilakukan pada akhir bulan Maret.

Kapan waktu top up yg tepat kalau pengen top up lebih sering lagi?



Tabel di atas menunjukkan jumlah kejadian IHSG minus selama x bulan. Sebagai contoh, dari tahun 1989 s.d mei 2008, ada 17 kejadian di mana IHSG minus selama 2 bulan berturut-turut sebelum plus lagi bulan depannya.

Jumlah kejadian terbanyak adalah minus selama 1 bulan (22 kali), dan minus selama 2 bulan (17 kali). Kesimpulannya, top up rutin bulanan adalah metode yang cukup baik.


Bagaimana perilaku IHSG selama Pemilu?

Banyak pihak yang cukup khawatir bahwa Pemilu akan menyebabkan IHSG berpotensi melemah. Hal tersebut cukup beralasan mengingat adanya potensi ketidakstabilan politik selama berlangsungnya Pemilu tahun depan. Untuk itu, tidak ada salahnya kita mereview kembali bagaimana perilaku IHSG saat 2 Pemilu yang lalu(tahun 1999 dan 2004). Khusus tahun 2004, terdapat 2 Pemilu yaitu pemilu untuk menentukan calon legislatif dan pemilu untuk menentukan calon Presiden.

Berikut adalah datanya:
Tahun 1999 --> pemilu dilaksanakan pada tanggall 7 Juni
Tahun 2004 --> pemilu legislatif 5 april, pemilu Presiden tanggal 5 juli

IHSG selama Pemilu 1999:

IHSG dibuka di 411.93 dan pada akhir tahun ditutup 676.92 (naik 64%)

Perilaku IHSG selama Pemilu tahun 2004:

IHSG dibuka di 752.93 dan ditutup di 1,000.23 (naik 33%)

Pada bulan dilaksanakannya pemilu, baik pada tahun 1999 maupun tahun 2004 (diblok warna hijau) terlihat IHSG justru meningkat.

Tentu saja data di atas adalah data yang telah lalu dan belum tentu bisa menggambarkan kondisi ke depannya. Akan tetapi paling tidak kita sebagai investor bisa berjaga-jaga :)
Baca selengkapnya ..

Strategi Dollar Cost Averaging (DCA)

Salah satu strategi yang populer dalam berinvestasi di reksa dana adalah Dollar Cost Averaging (DCA). Konsep dari strategi ini adalah melakukan investasi yang rutin dalam jumlah yang sama tanpa memperdulikan berapa NAB saat itu. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengurangi risiko yang muncul jika kita berinvestasi secara lump-sum.
Dengan DCA, kita bisa terhindar dari kerugian yang lebih besar saat market turun setelah kita melakukan investasi.

Tentu saja ada beberapa hal yang harus kita korbankan jika kita menerapkan strategi ini:
  • Dalam jangka panjang, umumnya metode DCA akan memberikan return yang lebih rendah daripada metode lump-sum walaupun bisa saja DCA lebih besar returnnya jika kita melakukan lump-sum saat market mencapai nilai tertinggi.

  • Horison investasi yang terlalu pendek akan menyebabkan return yang kita dapatkan tidak optimal karena dana yang kita investasikan belakangan akan mendapatkan return yang lebih rendah.

Walaupun memiliki beberapa kekurangan, DCA menjadi strategi yang populer karena memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
  • Dengan berinvestasi secara rutin, kemungkinan kita terkena imbas kejatuhan market yang dalam semakin kecil. Dengan kata lain, DCA memperkecil volatilitas investasi kita.

  • Dengan DCA, kita bisa ’mencicil’ investasi kita. Kita tidak perlu menyiapkan dana dalam jumlah banyak sekaligus untuk berinvestasi.

  • Konsep berinvestasi secara rutin akan mengurangi unsur subjektivitas kita dalam berinvestasi.

  • DCA merupakan strategi yang sederhana dan cukup tepat bagi investor pemula karena tidak perlu memikirkan market timing dalam berinvestasi.

Strategi DCA ini akan lebih efektif jika market sangat fluktuatif. Saat market bullish, maka kinerja DCA akan tertinggal jauh dari metode lump-sum. Saat market bearish, DCA akan bekerja lebih baik daripada metode lump-sum. Pada saat market bearish, ada baiknya DCA digabungkan dengan metode 'buy on weakness' agar lebih optimal.

Jika kita menerapkan strategi DCA, ada beberapa hal yang harus kita perhatikan. Yang pertama adalah horison investasi kita. Kita sebaiknya menetapkan seberapa jauh horison investasi kita agar dapat menetapkan berapa jumlah yang akan kita investasikan secara rutin. Penentuan horison investasi ini juga berguna untuk mencapai tujuan investasi kita.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah seberapa rutin kita akan berinvestasi. Apakah bulanan, 6 bulanan, atau tahunan. Semakin lama jarak antar investasi, maka investasi kita akan semakin investasi lump-sum.

Untuk mengatasi kelemahan strategi DCA yaitu return yang lebih kecil daripada metode lump-sum, ada beberapa strategi yang dapat kita terapkan antara lain 'buy on weakness' dan market timing dengan moving average. Kedua strategi ini akan saya bahas pada bagian selanjutnya.
Baca selengkapnya ..

Mengetahui Volatilitas Reksadana, Perlukah?

Saat berinvestasi di instrumen reksadana, mungkin sebagian dari kita hanya mempertimbangkan MI yang ‘bonafid’ serta catatan return masa lalu yang cukup tinggi. Memang cara tersebut adalah cara yang termudah. Lagi pula, reksadana memang didesain agar investor tidak perlu memusingkan bagaimana mengalokasikan dana untuk berinvestasi. Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai reksadana Anda, salah satu parameter yang bisa kita perhatikan adalah volatilitas. Apa itu volatilitas? Volatilitas adalah kecepatan naik turunnya return sebuah reksadana. Volatilitas tidak hanya terbatas pada reksadana namun juga seluruh instrumen investasi, baik saham, emas, obligasi atau instrumen-instrumen lainnya. Semakin tinggi volatilitasnya, maka ’kepastian’ return suatu reksadana semakin rendah. Biasanya yang digunakan untuk mengukur volatilitas adalah standar deviasi. Nilai standar deviasi suatu reksadana dapat dihitung menggunakan Microsoft Excel.
Volatilitas itu bagaikan pedang bermata dua. Semakin tinggi volatilitas, maka potensi return akan semakin tinggi. Volatilitas yang rendah menunjukkan kestabilan nilai return, akan tetapi umumnya returnnya tidak terlalu tinggi. Cukup adil bukan?
Sekarang coba kita mencoba lebih memahami arti dari volatilitas. Mulai saat ini, saya akan mengganti volatilitas dengan standar deviasi. Perhatikan contoh berikut:
Katakanlah kita memiliki data return selama 5 tahun dari 2 buah reksadana :



Return rata-rata kedua buah reksadana tersebut sama, yaitu 10% per tahun. Perbedaan yang sangat mencolok adalah standar deviasinya yaitu 28,9% untuk reksadana A dan 2,52% untuk reksadana B. Kalau kita perhatikan lebih teliti, terlihat bahwa return reksadana A sangat fluktuatif dan bahkan mengalami nilai negatif di tahun ke-2 dan tahun ke-4 sedangkan return reksadana B cukup stabil.
Seandainya kita memiliki dana sebesar Rp 10 juta yang akan kita investasikan, maka kita buat dahulu simulasi bagaimana perkembangan dana kita jika diinvestasikan ke kedua reksadana tersebut.



Jika dana tersebut kita investasikan selama 5 tahun, maka pada akhir tahun ke-5 kedua reksadana akan menghasilkan gain yang sama. Jumlah investasi kita akan menjadi Rp 16 juta.
Namun bagaimana seandainya pada akhir tahun ke-4 tiba-tiba kita ada keperluan mendadak sehingga kita membutuhkan dana yang sedang kita investasikan tersebut? Jika kita investasikan dana kita di reksadana A, maka nilai dana kita hanya Rp12,8 juta. Namun apa yang terjadi jika kita menginvestasikan dana kita di reksadana B?Ternyata dana kita telah tumbuh lebih besar yaitu menjadi Rp 15 juta.
Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa selain return, kita juga perlu memperhatikan bagaimana return itu dicapai. Apakah return reksadana kita dicapai oleh MI dengan menempuh risiko yang tidak perlu sehingga volatilitas(fluktuasi) returnnya menjadi tinggi? Ataukah MI dapat berinvestasi dengan lebih ’kalem’ sehingga jumlah return yang sama dapat dicapai tanpa mengakibatkan fluktuasi return yang berlebihan?
Tentu saja dalam jangka yang cukup panjang, biasanya reksadana yang volatilitasnya tinggi (misal reksadana saham) returnnya lebih tinggi daripada return dari reksadana pendapatan tetap. Untuk kelas aset yang berbeda seringkali kita tidak dapat menghindari risiko yang ditimbulkan oleh karakter instrumen itu sendiri.
Sebagai investor, kita memiliki 2 pilihan : ’eat well’ atau ’sleep well’
Selamat berinvestasi!
Baca selengkapnya ..

Antara Jakarta, New York, dan Shanghai

Tentu sebagian pembaca akan bertanya-tanya, apakah yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini? Ada beberapa kemungkinan mengenai topik yang akan saya sampaikan. Sebagian dari Anda mungkin berpikir mengenai liburan yang menyenangkan bersama keluarga di kota-kota tersebut (bagi yang bertempat tinggal di luar kota Jakarta). Warga Jakarta sendiri sepertinya tidak banyak yang menyadari bahwa kota mereka adalah tempat liburan karena sudah terlalu lelah bergulat dengan kemacetan, keruwetan, dan panasnya ibukota tercinta ini. Beberapa dari Anda mungkin berpikir bahwa tulisan ini bermuatan politis. Tidak, tidak. Saya tidak akan berbicara mengenai politik di sini. Lalu apa?

Sampai dengan awal tahun 90-an orang hanya berpikir bahwa pusat perekonomian dunia adalah Amerika Serikat. Jika saya menyebutkan kata "Dow Jones", kita akan membayangkan sebuah bursa saham yang dipenuhi oleh pialang yang sedang sibuk menelepon ke seluruh dunia. Kalau perlu bahkan menggunakan dua pesawat telepon di kedua telinganya. Gambaran tersebut diperkuat oleh promosi Hollywood yang luar biasa dan memang pada kenyataannya kurang lebih seperti itu.

Saya akan mencoba membawa Anda maju ke pertengahan 90-an. Pada saat itu pemerintah Cina mulai membuka keran selebar-lebarnya kepada investor di seluruh dunia untuk berinvestasi di negerinya (sebenarnya kebijakan tersebut telah dimulai dari 25 tahun yang lalu). Suatu hal yang bertolak belakang dengan bayangan kita mengenai Cina yang sangat tertutup terhadap dunia luar. Pembangunan yang sedang berjalan di sana bisa dikatakan sebagai suatu keajaiban karena belum pernah terjadi sebelumnya di negara manapun. Para politikus di Amerika Serikat sebelumnya akan merasa bahwa kebijakan ekonominya berhasil apabila perekonomiannya tumbuh di atas 4% per tahun. Pertumbuhan ekonomi di antara 2% sampai dengan 4% merupakan suatu kenyamanan. Pertumbuhan ekonomi di bawah 2% merupakan malapetaka politik.

Namun apa yang terjadi di Cina? Pemerintahnya sendiri telah mengatakan bahwa perekonomian negaranya harus tumbuh di atas 7% per tahun agar tenaga kerja yang sangat banyak dapat terserap. Saat ini kita akan dengan mudah menemukan barang dengan label “Made in China” jika dibandingkan dengan barang “Made in USA”. Sangat berbeda dengan kondisi beberapa puluh tahun yang lalu. Cina telah menjadi mimpi buruk bagi Paman Sam. Apakah Anda menyadari bahwa sebagian besar pakaian yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta adalah buatan Cina? Para penjual menyukai pakaian buatan Cina karena modelnya yang bagus dengan harga yang terjangkau. Demikian pula dengan konsumen. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai keterpurukan produsen pakaian dalam negeri yang tertatih-tatih didera oleh mahalnya bahan baku.

Hal-hal di atas telah memenuhi isi berita sebuah surat kabar ataupun portal berita dari waktu ke waktu dan dari berbagai macam perspektif. Apakah pernah terbayang dua puluh tahun yang lalu kita dapat mengikuti perkembangan perubahan kekuatan ekonomi tersebut dengan begitu cepatnya sehingga kita bisa merasakan perubahan tersebut seakan-akan kita berada di dalamnya?

Baiklah, saya akan menuju ke topik yang ingin saya bicarakan. Topik yang akan saya angkat adalah “informasi”. Saya mengasumsikan bahwa Anda telah menikmati hasil dari kemajuan teknologi informasi. Dahulu saat saya masih tinggal di Surabaya, saya menerima koran terbitan Jakarta baru pada pukul 9 pagi karena harus dikirimkan dari Jakarta ke Surabaya terlebih dahulu. Sekarang, soft copy surat kabar yang telah siap naik cetak pada tengah malam dapat langsung dikirimkan ke kota tujuan untuk kemudian dicetak di sana. Hasilnya, para pelanggan surat kabar di seluruh Indonesia dapat menikmati surat kabar dalam waktu yang bersamaan dengan pelanggan di Jakarta yang menerima surat kabarnya dari loper koran. Lebih ekstrim lagi adalah portal berita di Internet yang saat ini telah menjadi sumber berita kita dan bahkan mulai menggantikan posisi surat kabar. Kita dapat mengetahui berita yang berasal dari belahan dunia lain hanya dalam hitungan detik. Tentu saja apabila koneksi kita bukan dial-up yang lambat.

Hal yang sama berlaku di dunia pasar modal. Informasi real time dari seluruh penjuru dunia akan muncul dalam bentuk ticker di layar televisi. Dua dasawarsa yang lalu para pialang dan pelaku pasar modal lainnya bertukar informasi melalui telepon atau facsimile. Akan tetapi, seberapa banyak dan seberapa cepat informasi yang dapat disampaikan oleh kedua media tersebut? Efek yang paling kentara adalah sensitivitas pergerakan harga saham di BEJ terhadap sesuatu yang terjadi di New York, Shanghai ataupun kota-kota lainnya di dunia. Seringkali tanpa kita sadari harga suatu saham telah jauh meninggalkan kita yang baru mendapatkan beritanya beberapa saat sesudahnya.

Dosen saya pernah mengatakan bahwa orang-orang di bursa itu pintar-pintar. Pendapat tersebut ada benarnya. Kita harus berpikir ulang apakah benar jika kita handal dalam menaksir nilai suatu saham maka kita akan mendapatkan keuntungan jika membeli saham tersebut. Saya percaya bahwa para analis pasar modal akan mampu melakukan apa yang telah kita lakukan dalam menilai suatu saham, bahkan dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi. Sampai pada pernyataan tersebut saya teringat kembali pada Teori Pasar Efisien. Seseorang tidak akan bisa memperoleh imbal hasil abnormal secara terus menerus berdasarkan informasi mengenai suatu sekuritas yang telah dipublikasikan. Teori tersebut seakan-akan mendapatkan angin segar di era informasi ini.

Kata kuncinya di sini adalah “kecepatan”. Seberapa cepatkah kita mendapatkan suatu informasi penting yang akan mempengaruhi harga suatu saham? Informasi mengenai kebakaran suatu pabrik milik sebuah perusahaan multinasional di Shanghai akan tersebar dalam waktu singkat melalui backbone fiber optik dan tersebar ke seluruh dunia. Dalam waktu yang nyaris bersamaan harga saham di bursa-bursa termpat perusahaan tersebut terdaftar akan menukik tajam. Tentu saja cerita saya tersebut hanyalah sebuah rekaan. Akan tetapi apa yang terjadi kira-kira akan seperti itu di era informasi ini. Jaringan Internet saat ini telah mampu menyediakan data up to date dalam waktu yang sangat singkat. Sebuah kemewahan yang dahulu hanya didapatkan oleh para manajer investasi besar. Sekarang ini mereka harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan hasil investasi yang melebihi investor kecil.

Hal penting lainnya adalah kemampuan kita untuk memilah-milah informasi yang telah kita dapatkan. Jika Anda pernah mempelajari teknologi informasi tentu mengetahui bahwa dalam arsitektur jaringan, Internet digambarkan sebagai awan. Dalam konteks tulisan ini mungkin lebih tepat jika saya mengatakan bahwa jaringan Internet adalah hutan rimba. Banyaknya informasi yang terdapat di sana akan dengan mudah menyesatkan apabila kita tidak mengetahui apa yang kita cari. Banjir informasi yang kita dapatkan setiap waktu akan memperbesar kemungkinan kita melewatkan satu atau dua informasi yang sangat penting. Tentu saja hal tersebut tidak kalah buruknya dengan informasi yang terlambat kita terima.

Saya hendak mengatakan bahwa teknologi informasi telah membawa kita kepada pemahaman baru mengenai dunia investasi. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu yang telah kita pelajari selama ini tidak berguna. Fundamental dari ilmu mengenai investasi tetaplah sama, hanya saja kita harus merubah cara pandang kita dalam berinvestasi terutama yang berkaitan dengan pergerakan informasi yang menyebabkan interaksi antar elemen di dalamnya semakin dinamis.

Kita harus bergerak lebih cepat menangkap suatu informasi. Kita tidak harus benar-benar melintas antar benua menuju New York atau Shanghai untuk mendapatkan sebuah informasi. Kita hanya perlu duduk di depan komputer kita dan menyaksikan keajaiban teknologi informasi bekerja sambil meminum secangkir kopi hangat di pagi hari yang cerah. Nyaman sekali bukan hidup ini?
Baca selengkapnya ..

Tahankah Anda terhadap Risiko?

Sebuah Tinjauan Ulang Mengenai Crash Industri Reksa Dana di Indonesia Tahun 2005

Satu pertanyaan yang sering muncul dalam pikiran saya adalah apakah industri reksa dana di Indonesia masih memiliki masa depan setelah diterpa berbagai macam goncangan yang cukup hebat? Badai terakhir yang menghantam industri reksa dana hampir sepanjang tahun 2005 telah mengikis Nilai Aktiva Bersih (NAB) keseluruhan reksa dana dari Rp 113,7 triliun pada bulan Februari 2005 menjadi hanya Rp 34 triliun pada akhir bulan September 2005. Tentu saja hal tersebut menjadi mimpi buruk bagi para manajer investasi, terlebih manajer investasi yang menerbitkan produk reksa dana pendapatan tetap yang terkena pukulan paling telak. Secara kasar dapat dikatakan bahwa pendapatan para manajer investasi yang berasal dari management fee anjlok hingga sepertiga dari jumlah sebelumnya.

Bapepam sebagai pemegang otoritas pasar modal kemudian berinisiatif untuk mengizinkan penerbitan jenis reksa dana yang baru yaitu reksa dana terproteksi. Pada awalnya, reksa dana ini bertujuan untuk menerima limpahan investor reksa dana pendapatan tetap yang tidak tahan melihat NAB reksa dana yang dimilikinya terus-menerus menurun dari waktu ke waktu sebagai akibat dari adanya gelombang massive redemption. Perkembangan reksa dana terproteksi ini cukup menggembirakan. Pada bulan Oktober 2005, NAB keseluruhan reksa dana terproteksi adalah Rp 2,8 triliun. Jumlah ini meningkat tajam sepanjang tahun 2006. Pada akhir bulan September 2006, NAB reksa dana terproteksi telah mencapai Rp 9,8 triliun atau 24% dari jumlah seluruh NAB reksa dana yang ada.

Sampai pada titik ini, para manajer investasi dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian besar investor reksa dana adalah risk averse (penolak risiko) yang tidak akan tahan menyaksikan nilai investasinya turun drastis walaupun mungkin hanya untuk jangka pendek. Para investor tersebut hanya ingin menerima keuntungan yang pasti dan meminimalkan potensi kerugian.

Kasus ini mengingatkan saya pada tulisan Peter L. Bernstein di buku “Against The Gods”. Pada buku tersebut, Bernstein menceritakan mengenai eksperimen yang dilakukan oleh Kahneman dan Tversky yang kemudian melahirkan Teori Prospek. Ketidakimbangan antara cara memutuskan yang melibatkan keuntungan dan keputusan yang menyangkut kerugian merupakan salah satu temuan yang mengejutkan dalam Teori Prospek. Dalam salah satu eksperimen mereka, awalnya mereka meminta responden memilih salah satu dari dua alternatif yaitu pilihan dengan peluang 80% memenangkan $4.000 dan 20% tidak memperoleh apa pun atau peluang 100% memperoleh $3.000. Meskipun pilihan yang berisiko memiliki harapan matematis yang lebih besar ($3.200), ternyata 80% orang memilih $3.000 yang sudah pasti. Orang-orang tersebut termasuk kelompok risk-averse.
Kemudian Kahneman dan Tversky menawarkan pilihan antara mengambil risiko dengan peluang 80% merugi $4.000 dan 20% impas atau peluang 100% merugi $3.000. Sekarang, 92% dari responden memilih untuk ikut bertaruh, meskipun harapan matematis merugi $3.200 masih lebih besar daripada yang pasti merugi $3.200. Apabila pilihan menyangkut kerugian, kita cenderung menjadi risk-taker, bukannya risk-averse.

Kahneman dan Tversky menafsirkan bukti dari eksperimen ini sebagai petunjuk bahwa orang bukanlah risk-averse. Mereka bersedia bertaruh jika dianggap memang memadai. Pendorong utamanya adalah “ogah rugi”. Tidak banyak orang yang membenci ketidakpastian, mereka sekedar membenci rugi. Dibandingkan dengan keuntungan, kerugian akan selalu lebih mengancam.
Saya memaparkan kutipan di atas karena melihat adanya kesesuaian antara kasus massive redemption reksa dana dengan kasus tersebut. Orang-orang yang menanamkan dananya ke dalam deposito beramai-ramai mengalihkan uang mereka ke dalam reksa dana pendapatan tetap yang sepengetahuan mereka menjanjikan imbal hasil yang lebih besar daripada imbal hasil deposito. Dalam hal ini, mereka tidak melihat bahwa walaupun relatif kecil, terdapat ketidakpastian imbal hasil dari reksa dana pendapatan tetap. Keputusan yang mereka ambil berbalik 180 derajat saat terjadi penurunan NAB yang cukup besar. Pada saat itu, mereka tidak melihat adanya potensi keuntungan yang besar melainkan kenyataan bahwa investasi mereka telah merugi. Dengan probabilitas memperoleh keuntungan atau kerugian yang sama pada saat mereka berinvestasi di reksa dana, keputusan yang mereka ambil sangat jauh berbeda.

Saya dapat mengatakan seperti itu karena yang turun drastis sebenarnya adalah NAB bukan NAB per unit reksa dana. Memang tidak dapat dipungkiri ada kemungkinan terdapat kerugian karena adanya biaya transaksi yang cukup besar sebagai akibat dari redemption yang dilakukan oleh para investor yang dibebankan kepada reksa dana yang bersangkutan.

Kasus redemption reksa dana pada tahun lalu tersebut mengajarkan kepada kita bahwa dalam berinvestasi kita benar-benar harus menyadari risiko apa yang menyertai instrumen investasi tempat kita menanamkan modal. Kita seharusnya mulai berpikir untuk berinvestasi untuk jangka yang lebih panjang karena naik turunnya imbal hasil investasi kita dalam jangka pendek seringkali hanyalah riak-riak dari sebuah gelombang potensi keuntungan yang besar dalam jangka panjang.

Maju terus reksa dana Indonesia!!!

Baca selengkapnya ..

Perlunya melakukan rebalancing portofolio

Saat kita berinvestasi di reksa dana atau investasi apapun, seiring dengan pertumbuhan investasi kita, seringkali masing-masing aset yang kita miliki memiliki pertumbuhan yang berbeda-beda. Hal ini ke depannya akan menyebabkan komposisi aset-aset penyusun portfolio kita akan berubah dan tidak sesuai dengan komposisi awal yang kita inginkan. Oleh karena itu, secara berkala kita perlu melakukan rebalancing portfolio. Detail dari rebalancing portfolio dan optimalisasinya akan kita bahas dalam tulisan ini.


Masalah terbesar dari investor adalah diri sendiri. Greed dan Fear yg
seharusnya tidak ada biasanya sering muncul pada kondisi market yang
sangat volatile seperti saat ini.

Konsep dari strategi ini adalah selalu membuat komponen penyusun portfolio kita akan memiliki komposisi yg sama.
Contoh yg akan saya berikan adalah portfolio yg terdiri dari RD Fortis
Ekuitas(RDS) dan RD Dana Tetap Optima(RDPT). Apa keuntungan yg kita
dapatkan dengan menggabungkan kedua jenis RD tersebut?

  1. Diversifikasi aset

  2. Meminimalisasikan greed and fear. Karena saat jika salah satu RD
    naik, maka kelebihannya akan ditransfer ke RD yg lebih rendah
    returnnya. Pengaturan ini akan berguna saat market sedang jatuh atau
    naik tinggi.

Gambarannya adalah sebagai berikut. Jika kita menentukan bahwa komposisi Fortis
Ekuitas 70% dan Dana Tetap Optima adalah 30%, maka jika Fortis Ekuitas
melebihi 70%(misal 75%), 5% kelebihannya akan dipindahkan ke Dana Tetap
Optima. Demikian juga sebaliknya.
Begini gambarannya:


Kunci dari strategi ini adalah memilih 2 reksadana dengan karakter yang sangat
berbeda. Fortis Ekuitas adalah reksadana saham yang memiliki ekspektasi return tinggi dengan
volatilitas tinggi pula. Dana Tetap Optima(DTO) adalah reksadana pendapatan tetap yang memiliki
return dan volatilitas yang rendah. Dengan demikian kedua reksadana tersebut akan
saling menutupi kelemahan yang lainnya.
Kemudian bagaimana komposisi yg optimal? Kalau saya pribadi akan memilih
komposisi yang akan memberikan perbandingan return terhadap volatilitas
tertinggi.
Komposisi optimal dapat dilihat pada grafik di bawah ini:

Terlihat bahwa komposisi optimal adalah 39% FE dan 61% DTO yg memberikan perbadingan return terhadap volatilitas (R/V) 1.95
Saran dari saya, sebaiknya rebalancing portfolio dilakukan setiap 6 bulan sekali, jangan terlalu sering karena fee nya akan mahal.
n.b : file excel dan manualnya untuk perhitungan dan menggambar chart bisa didownload di sini:
http://rapidshare.com/files/109965520/rebalancing.zip.html
Gunakan winzip untuk membukanya. Jangan takut kalo saat membuka file excel nya ada peringatan macro. Macronya memang saya yang membuat
Semoga berguna
Baca selengkapnya ..

Sejauh Apa Kita Perlu Melakukan Diversifikasi?

Dalam berinvestasi, kita perlu melakukan diversifikasi. Apa itu diversifikasi? Diversifikasi adalah strategi penempatan dana investasi kita ke instrumen yang berbeda-beda. Yang dimaksud dengan berbeda-beda di sini adalah potensi return, risiko dan likuiditasnya. Sebagai contoh, potensi return investasi di saham tentu saja berbeda dengan obligasi.
Pada umumnya, saham memberikan return yang lebih besar daripada obligasi. Namun tentu saja risiko berinvestasi di saham lebih besar karena fluktuasi harga saham cenderung lebih besar daripada obligasi. Aspek ketiga adalah likuiditas. Likuiditas di sini artinya adalah kemudahan untuk membeli dan menjual sebuah instrumen investasi. Contoh yang bagus untuk ini adalah properti. Kalau kita mengiklankan rumah kita belum tentu hari itu juga bisa terjual. Bisa besok, minggu depan atau bahkan bulan depan rumah kita baru laku. Berbeda dengan saham yang dapat kita perdagangkan saat itu juga kalau kita inginkan.
Berdasarkan perbedaan karakter masing-masing instrumen investasi seperti yang telah dikatakan di atas, seorang investor perlu melakukan diversifikasi. Mengapa diversifikasi diperlukan? Jika kita berinvestasi, kita tentu mengharapkan investasi kita terus tumbuh. Namun ada kalanya keadaan tidak memihak kita. Saat ini jika kita menaruh seluruh investasi kita di saham atau reksadana saham tentu akan melihat nilai investasi kita menurun karena pengaruh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Lain halnya jika kita menaruh sebagian portofolio kita dalam bentuk emas atau reksadana pasar uang. Kerugian kita tidak akan sebesar investor yang menaruh seluruh investasinya di saham.
Melakukan diversifikasi dengan baik
Diversifikasi itu seperti memasak. Bahan-bahan yang kita masukkan dalam takaran tertentu akan menghasilkan masakan yang enak. Tidak semua bahan masakan dapat kita masukkan karena mungkin akan menyebabkan rasanya menjadi tidak enak. Demikian pula halnya dengan diversifikasi. Jika kita terlampau banyak memecah dana investasi kita ke instrumen yang berbeda-beda belum tentu hasilnya akan memuaskan. Istilahnya adalah ”overdiversification”. Bagaimana caranya melakukan diversifikasi dengan baik?
Jangan melakukan diversifikasi dalam instrumen-instrumen yang memiliki karakter yang sama. Sebagai contoh adalah reksadana saham. Umumnya reksadana saham akan mengalokasikan portfolionya ke saham-saham blue chip sehingga returnnya biasanya tidak berbeda jauh satu sama lain. Tentu saja setiap fund manager memiliki resep yang berbeda-beda dan hal tersebut memungkinkan kita untuk berinvestasi di lebih dari satu macam reksadana saham. Yang perlu diingat adalah jangan terlalu banyak macam reksadana saham yang kita beli.
Alokasikan investasi kita dengan membandingkan karakter suatu instrumen investasi dalam hal potensi return, risiko, dan likuiditas.
Selalu sediakan uang tunai yang disediakan khusus untuk investasi. Ingat uang ini berbeda dengan uang tunai yang kita gunakan untuk operasional sehari-hari. Kita tidak akan pernah tahu bila suatu saat akan ada peluang investasi yang bagus. Jangan sampai kita tidak memiliki uang tunai untuk masuk ke investasi tersebut.
Apa kerugian ”overdiversification”?
Diversifikasi yang berlebihan akan memiliki dampak negatif, yaitu:

  • Kita akan kesulitan untuk mengontrol perkembangan investasi kita. Bayangkan kesulitan yang akan kita alami kalau kita berinvestasi di lebih dari 15 macam investasi.

  • Pertumbuhan investasi yang kurang memuaskan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa diversifikasi akan menyebabkan kita kehilangan peluang untuk berinvestasi sepenuhnya dalam instrumen yang akan memberikan return yang besar. Jika harga saham sedang naik, return investasi kita yang terdiversifikasi dalam aset lain mungkin tidak sebesar return portofolio investor lain yang mengalokasikan dana investasinya sepenuhnya dalam saham.

  • Munculnya biaya-biaya tak terduga. Mengelola investasi yang ”overdiversified” akan membuat kita cenderung lebih sering mengubah-ubah alokasi dana kita sehingga akan memunculkan biaya-biaya yang terlalu berlebihan.



Strategi diversifikasi yang cocok
Pada dasarnya setiap orang memiliki profil dan tujuan investasi yang berbeda-beda. Dalam melakukan diversifikasi selalu pertimbangkan ketiga karakter instrumen investasi seperti yang telah dibahas di atas.

  • Potensi return

  • Risiko

  • Likuiditas



Selamat berinvestasi!
Baca selengkapnya ..