Strategi Investasi : Value Averaging

Dalam berinvestasi reksa dana, terdapat beberapa strategi yang dapat kita terapkan untuk mengurangi risiko serta faktor emosi. Sebagai investor, emosi merupakan musuh utama kita karena emosi akan menyebabkan kita lebih mudah membuat keputusan yang salah. Sebagai contoh, saat market turun, jika kita panik kita secara spontan akan cenderung menarik dana investasi kita karena takut nilai investasi kita akan semakin menurun. Padahal setelah itu alih-alih semakin menurun, ternyata market kembali rebound dan setelah itu kita baru menyadari bahwa keputusan kita untuk menarik investasi kita adalah keputusan yang tidak tepat. Kepanikan kita tersebut merupakan salah satu bentuk emosi yang harus dihindari oleh investor.

Keinginan untuk mengurangi adanya faktor emosi inilah yang mendorong munculnya berbagai macam strategi investasi. Strategi yang paling terkenal mungkin adalah Dollar Cost Averaging (DCA), di mana kita secara berkala berinvestasi dalam jumlah nominal yang tetap bagaimanapun kondisi pasar. Selain DCA sebenarnya terdapat beberapa macam strategi lain yang dapat kita terapkan. Masing-masing strategi memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Beberapa strategi yang ada antara lain:
  • Jika kita menginvestasikan seluruh dana kita di awal, strategi kita itu disebut dengan Lump-Sum.

  • Jika kita menginvestasikan dana kita dalam jumlah yang tetap secara berkala, maka strategi itu disebut dengan Dollar Cost Averaging (DCA).

  • Jika kita menginvestasikan dana kita untuk membeli reksa dana/saham dengan jumlah unit yang sama secara berkala, maka strategi kita itu disebut dengan Constant Share (CS).

  • Jika kita menginvestasikan dana dalam jumlah tertentu secara berkala sehingga pertambahan nilai investasi kita selalu tetap, strategi kita itu disebut dengan Value Averaging (VA).
Pada tulisan kali ini saya akan membahas mengenai strategi investasi Value Averaging atau biasa disingkat VA. Konsep dari strategi ini adalah membuat pertambahan nilai investasi kita akan selalu tetap. Misalkan kita menginginkan nilai investasi kita bertambah sebesar Rp 500.000,- setiap bulannya. Jika kita menerapkan strategi value averaging, maka kita akan menambah atau mengurangi investasi kita sehingga pertambahan nilainya akan tetap (Rp 500.000,-) setiap bulannya. Pada akhir bulan pertama, kita menginvestasikan dana kita sebesar Rp 500.000,-. Dengan ketentuan seperti di atas, maka pada akhir bulan kedua nilai investasi kita harus menjadi Rp 1.000.000,-. Jika pada akhir bulan kedua ternyata nilai investasi kita meningkat menjadi Rp 550.000,-, maka kita hanya perlu menambahkan dana sebesar 1.000.000 – 550.000 = Rp 450.000,-. Dengan demikian, pada akhir bulan kedua, nilai investasi kita akan sesuai dengan target yaitu Rp 1.000.000. Proses ini dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya.

Mirip dengan strategi Dollar Cost Averaging, skema strategi di atas mempunyai satu kelemahan. Dalam beberapa tahun ke depan, seiring dengan inflasi mungkin pertumbuhan konstan sebesar Rp 500.000,- akan terasa kecil. Oleh karena itu kita perlu melakukan sedikit ”modifikasi” agar pertumbuhan investasi kita dapat mengatasi efek inflasi. Apa yang harus kita lakukan? Agar nilai pertumbuhan dapat mengatasi efek inflasi, maka target pertumbuhan kita nyatakan dalam persentase. Dasar dari konsep ini sama dengan skema sebelumnya. Hanya saja, jika dalam skema sebelumnya kita menargetkan pertumbuhan Rp 500.000,- setiap bulan, maka pada skema ini kita menargetkan pertumbuhan dalam persen katakanlah 3% setiap bulannya. Jadi pada akhir bulan kedua, kita harus membuat nilai investasi kita menjadi (1 + 3%) x Rp 500.000,- = Rp 515.000,-. Pertumbuhan sebesar itu dapat dicapai dengan meningkatnya nilai investasi maupun tambahan dana dari kita. Mungkin pertumbuhan sebesar 3% atau Rp 15.000,- pada akhir bulan kedua tersebut terasa kecil namun nilai 3% tersebut akan terasa besar pada tahun-tahun mendatang. Dengan mengubah bentuk pertumbuhan menjadi persentase, maka kita telah memecahkan permasalahan yang ditimbulkan oleh inflasi.

Satu hal yang perlu diingat jika nilai investasi kita melebihi target, kita akan menarik sejumlah dana kita agar nilainya sesuai dengan target yang telah ditetapkan semula.

Lalu apa kelebihan dari strategi Value Averaging ini?
Dengan menerapkan strategi ini, kita akan mengurangi harga pembelian unit reksa dana kita. Hal tersebut akan kita bahas lebih data pada contoh yang akan saya berikan. Selain itu, strategi ini memungkinkan kita untuk ”mencicil” investasi kita, sama dengan strategi Dollar Cost Averaging.

Contoh yang akan saya berikan ini berdasarkan data IHSG 6 bulanan sejak tahun 1989. Mengapa saya menggunakan data IHSG dan bukan NAV reksa dana saja?
Pertama, pergerakan NAV reksa dana pada umumnya hampir sama dengan pergerakan IHSG.
Kedua, saya ingin mengolah data dalam periode yang lebih panjang. Reksa dana paling ”tua” yang ada saat ini mulai diterbitkan pada tahun 1996, jauh lebih pendek dibandingkan dengan awal perhitungan IHSG yaitu tahun 1988.

Data yang digunakan adalah data 6 bulanan karena jika terlalu singkat, subscribe dan redeem fee kita akan membengkak.

Mari kita perhatikan simulasi berikut (klik pada gambar untuk memperbesar) :



Terlihat bahwa dengan menargetkan pertumbuhan dana sebesar 12% per 6 bulan, maka berdasarkan total dana yang telah kita investasikan, return kumulatif investasi kita adalah sebesar 16.258% (enam belas ribu persen) atau 14,77% per enam bulan. Is it amazing? Bagaimana mungkin dengan target pertumbuhan 12% per 6 bulan kita memperoleh return sebesar itu?

Kuncinya adalah pada proses pembatasan pertumbuhan. Jika pertumbuhan di bawah target, maka kita memasukkan dana tambahan. Jika pertumbuhan di atas target, maka kita kurangi investasi kita.

Yang mengejutkan, dengan menerapkan strategi VA ini, untuk mencapai nilai investasi sebesar Rp 33.115.921,- total dana yang kita keluarkan hanyalah Rp 202.000.

Nilai minus pada harga perolehan rata-rata menandakan bahwa kita tidak perlu mengeluarkan dana untuk investasi kita.

Memang Rp 33 juta terlihat kecil. Jika kita ingin memperoleh hasil yang lebih besar, kita bisa memperbesar nilai nominal awal. Misalnya kita tidak menaruh Rp 500 rb akan tetapi Rp 5 juta.

Satu hal yang sangat penting dan tidak boleh kita lewatkan adalah fluktuasi. Jumlah dana yang harus kita masukkan atau keluarkan setiap 6 bulannya berkisar antara Rp 30 ribu sampai dengan Rp 7,8 juta. Sebuah kisaran nilai yang cukup lebar.

Oleh karena besarnya fluktuasi keluar masuk dana, maka menurut saya strategi ini merupakan strategi yang cukup advanced karena membutuhkan disiplin dan mengandung risiko yang cukup tinggi. Tanpa perhitungan yang matang di awal, jangan menerapkan strategi ini untuk berinvestasi.

Terbukti memang semboyan ’high risk, high return’


Diclaimer is on

Baca selengkapnya ..

ETF vs Reksa Dana Indeks

ETF (Exchange-Traded Fund) merupakan wahana investasi yang relatif baru di negeri kita ini. Produk ETF yang ada saat ini ada dua, yaitu ABF IBI Fund dan Premier ETF LQ-45. ABF IBI Fund menggunakan portfolio indeks obligasi sebagai patokan sedangkan Premier ETF LQ-45 menggunakan indeks LQ-45 sebagai indeks patokan.

Sebelum ETF muncul, kita telah terlebih dahulu mengenal reksa dana indeks, yaitu Danareksa Indeks Syariah. Reksa dana ini menggunakan indeks JII (Jakarta Islamic Index) sebagai acuan. Baik ETF maupun reksa dana indeks berusaha menirukan kinerja dari indeks acuannya. Lalu apa perbedaan keduanya?



Reksa Dana Indeks
Reksa dana indeks adalah reksa dana yang portfolionya terdiri atas saham-saham penyusun indeks tertentu. Proporsi kepemilikan saham oleh reksa dana indeks sebisa mungkin disamakan dengan komposisi indeks acuan tersebut sehingga diharapkan kinerjanya akan menyamai kinerja indeks acuan.

Proses pembentukan reksa dana indeks sama dengan reksa dana pada umumnya. Mari kita perhatikan gambar berikut:


Manajer investasi akan membeli saham-saham di pasar sampai dengan komposisinya menyamai indeks. Tentu saja dalam perjalanannya nanti akan terjadi sedikit perbedaan kinerja dengan indeks acuan. Perbedaan ini disebut dengan tracking error. Setiap beberapa bulan sekali, manajer investasi akan menata ulang portfolionya untuk meminimalisasi tracking error ini. Manajer investasi kemudian menjual membeli unit penyertaan kepada para investor.
Pembelian reksa dana indeks sama dengan reksa dana pada umumnya. Kita dapat membelinya di agen penjual reksa dana atau langsung ke manajer investasinya. Begitu juga jika kita ingin menjual unit reksa dana kita. NAB reksa dana indeks dapat kita lihat setelah berakhirnya sesi perdagangan harian.
Karena reksa dana indeks memerlukan pengawasan yang relatif sedikit, maka management fee untuk MI biasanya cukup rendah. Untuk Danareksa Indeks Syariah, management fee tahunan maksimal 0.3% dari NAB. Biaya ini jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya pengelolaan reksa dana saham biasa yang bisa mencapai 2.5% per tahun.

ETF
Pada tulisan ini, saya hanya akan membahas mengenai ETF saham karena memiliki underlying portfolio yang saham dengan reksa dana indeks yaitu saham.
Hampir sama dengan reksa dana indeks, ETF berusaha untuk mereplikasi indeks tertentu agar kinerjanya sama dengan indeks acuan tersebut.
Pembentukan ETF berbeda dengan reksa dana indeks. Mari kita perhatikan gambar berikut:



Dealer partisipan akan membeli saham-saham di pasar dengan komposisi yang saham dengan indeks acuan sampai dengan jumlah tertentu. Saham-saham yang telah dibeli ini kemudian ditukarkan dengan unit kreasi yang dibuat oleh manajer investasi ETF. Setelah memiliki unit kreasi yang dimiliki oleh dealer partisipan dapat disimpan sendiri atau dijual ke pasar setelah dipecah-pecah dalam bentuk unit penyertaan. Satuan penjualan di pasar adalah lot (500 unit penyertaan).
Jadi, perbedaan pertama antara ETF dengan reksa dana indeks adalah bagaimana cara pembentukannya. Pada ETF, yang berhak untuk bertransaksi dengan manajer investasi hanyalah dealer partisipan yang sering disebut juga dengan market maker.

Sama halnya dengan reksa dana indeks, pengelolaan ETF juga bersifat pasif sehingga management fee nya pun relatif rendah jika dibandingkan dengan reksa dana saham pada umumnya.
Perbedaan kedua adalah pihak yang menjual dan membeli unit penyertaan. Investor ETF hanya dapat membeli dan menjual unit penyertaan dari investor lain melalui pasar sekunder. Proses transaksinya sama persis dengan transaksi saham. Jadi saat membeli atau menjual unit penyertaan, kita tidak dikenai subscribe atau redeem fee melainkan komisi broker yang jumlanya bervariasi antara 0.2%-0.3% untuk pembelian dan 0.3%-0.4% untuk penjualan. Kesimpulannya untuk dapat berinvestasi di ETF, kita harus terdaftar sebagai nasabah suatu sekuritas.

Perbedaan ketiga adalah penetapan harga unit penyertaan. Jika pada reksa dana indeks, NAV nya ditentukan berdasarkan nilai wajar dari aset yang dimilikinya, maka pada ETF, harganya tidak harus sama dengan NAV nya. Di samping itu, harga ETF akan diupdate secara kontinyu selama perdagangan di pasar berlangsung. Hal ini berbeda dengan reksa dana indeks di mana NAV nya hanya dapat kita ketahui 1 kali setiap harinya yaitu saat perdagangan di pasar telah berakhir. Harga unit penyertaan ETF ditentukan oleh transaksi antar investor di pasar.

Perbedaan keempat adalah periode settlement. Jika kita ingin membeli reksa dana indeks, kita harus menyediakan dananya terlebih dahulu. Jika kita membeli ETF, kita tidak harus memiliki dananya saat itu juga, akan tetapi diberi waktu hingga 3 hari setelah transaksi (T+3). Adanya perbedaan ini disebabkan karena ETF diperlakukan sama dengan saham yang memiliki periode settlement 3 hari.


Walaupun terdapat beberapa perbedaan, ETF dan reksa dana indeks memiliki persamaan:
- Portfolionya mengacu pada suatu indeks tertentu
- Biaya pengelolaan yang relatif rendah

Lalu mana yang kita pilih?Jika kita adalah investor pasif, maka baik ETF maupun reksa dana indeks sama saja. Namun jika kita adalah investor aktif, maka ETF merupakan pilihan yang lebih baik karena dapat diperdagangkan secara real-time tanpa harus menunggu berakhirnya sesi perdagangan. Baik ETF maupun reksa dana menawarkan satu keunggulan yaitu memiliki kinerja yang menyamai indeks acuan dengan biaya pengelolaan rendah.

Namun ada hal lain yang harus kita perhatikan. Saat ini volume perdagangan ETF sangat rendah sehingga mengakibatkan lebarnya spread (perbedaan) antara harga bid dan offer di pasar. FYI, ’bid’ adalah harga yang kita dapatkan jika ingin menjual ETF saat itu juga sedangkan ’offer’ adalah harga yang kita dapatkan jika kita ingin membeli ETF saat itu juga.

Selain itu, karena tidak ada keharusan bahwa harga unit penyertaan ETF sama dengan NAV nya, maka terkadang terdapat perbedaan yang cukup besar antara harga dengan NAV nya. Jika kita jeli, maka kita dapat memanfaatkannya dengan membeli ETF jika harganya di bawah NAB dan menjualnya jika harganya lebih tinggi dari NAV nya. FYI, NAV ETF seharusnya sama dengan nilai indeks acuannya.

Hal yang serupa dapat pula dilakukan oleh dealer partisipan untuk menambah keuntungan. Saat harga ETF lebih tinggi daripada indeks acuan, maka dealer partisipan akan membeli saham-saham penyusun portfolio ETF di pasar dan kemudian menjual unit kreasi yang dimilikinya kepada manajer investasi ETF. Demikian pula jika harga ETF lebih rendah daripada indeks acuannya, maka dealer partisipan dapat menjual saham-saham penyusun portfolio ETF dan menggunakan dana yang didapat untuk membeli unit kreasi dari manajer investasi ETF. Tindakan ini disebut dengan arbitrage.

Demikian sedikit paparan mengenai ETF dan reksa dana indeks. Selamat berinvestasi!









Baca selengkapnya ..