Jangan Terbalik dalam Menimbang Risiko

Mind set bahwa investasi saham sangat berisiko sudah tertanam cukup kuat di benak kebanyakan orang. Sudah umum kita mendengar orang berkata bahwa “main saham itu seperti judi”, “main saham itu bisa bikin bangkrut”, “mendingan bisnis riil, hasilnya keliatan” dan berbagai macam ungkapan lainnya. Tidaklah mengherankan apabila jumlah investor saham di Indonesia terbilang sangat sedikit. Saat ini jumlah investor saham di Indonesia hanya sekitar 0,2% dari jumlah penduduk atau sekitar 350 ribu orang. Jumlah ini terbilang sedikit. Sebagai gambaran, jumlah investor saham di negara tetangga kita, Malaysia, mencapai 12% dari jumlah penduduknya.

Saya tidak hendak mengatakan bahwa investasi saham tidak berisiko. Saya mengakui bahwa investasi saham mengandung risiko yang cukup tinggi. Sebagai contoh, krisis global tahun 2008 telah menyebabkan harga saham rata-rata turun sekitar 50%. Walaupun saat ini harga saham telah pulih kembali, kenangan atas kejadian tersebut kemungkinan masih membekas di dalam ingatan kita. Lalu mengapa hingga saat ini saya masih tetap bertahan berinvestasi saham?

Ijinkan saya untuk memberikan suatu gambaran. Beberapa tahun belakangan ini bisnis model franchise sangat marak. Modal yang dibutuhkan untuk terjun ke dalamnya cukup variatif, mulai dari 3 juta rupiah hingga milyaran rupiah. Oleh karena itu kita mempunyai banyak pilihan. Kalkulasi potensi keuntungannya pun terlihat sangat menggiurkan. Namun satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah bahwa setiap bisnis mengandung risiko, demikian pula bisnis model franchise. Walaupun banyak franchise didukung oleh kekuatan merk dari franchisor nya, jangan lupa bahwa kita harus memulai bisnis dari awal. Pada fase tersebut, potensi keuntungannya besar dan begitu pula risikonya pun cukup besar. Tidak dapat dipungkiri, jika kita berhasil modal akan cepat kembali dan laba akan terus terkumpul. Di sisi lain, apabila kita gagal maka ada kemungkinan kita akan kehilangan seluruh modal kita. Keadaan akan bertambah rumit apabila modal kita berasal dari utang. Ketika bisnis kita bangkrut, cicilan utang masih tetap menghadang di depan mata.

Lalu bagaimana dengan saham? Secara teori, potensi kerugian terbesarnya adalah hilangnya seluruh modal kita. Sama seperti bisnis riil, kita akan terlilit utang apabila kita memanfaatkan fasilitas margin trading. Saat membeli saham suatu perusahaan, kita tidak ubahnya membeli sebagian kepemilikan atas perusahaan tersebut, mirip seperti ketika memulai bisnis di sektor riil. Jika bisnis perusahaan tersebut maju, maka kita akan mendapatkan dividen dan capital gain. Perbedaan utama dan merupakan keuntungan investasi saham dibandingkan dengan bisnis riil adalah kita tidak harus mengelolanya sendiri. Yang perlu kita lakukan adalah mencari perusahaan yang kinerjanya bagus dan memiliki bisnis yang prospektif. Kita tidak perlu pusing-pusing memikirkan pembayaran sewa ataupun mengelola karyawan. Bisa dikatakan hampir tidak ada pekerjaan yang mengharuskan kita secara fisik ketika berinvestasi saham.

Jika kita membeli saham-saham blue chip, dapat dikatakan risiko kita akan semakin mengecil. Saham blue chip umumnya adalah saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang kuat secara fundamental dan memiliki kinerja yang bagus. Sebut saja Indofood, BCA, Astra, dan lain-lain. Secara logis, manakah yang lebih berisiko, memulai bisnis rill atau berinvestasi di saham yang bisnisnya telah teruji? Berapa persen kemungkinan Astra akan bangkrut dalam lima tahun ke depan? Tentunya sangat kecil. Berapa persen kemungkinan usaha yang baru kita rintis akan gagal? Anda sendiri yang dapat menjawabnya.
Mungkin masih ada satu hal yang mengganjal. Investasi pada saham blue chip ‘kan potensi keuntungannya kecil. Yah, memang ada beberapa yang seperti itu. Namun bagaimana dengan saham Kalbe Farma atau Astra International yang naik beberapa kali lipat harganya selama beberapa tahun terakhir? Tentu saja keuntungan yang lebih besar akan kita dapatkan apabila kita berinvestasi pada saham-saham second liners yang notabene mengandung risiko yang lebih tinggi dibandingkan saham-saham blue chip.

Jika kita memandang dari sisi bisnis, jika kita memulai suatu usaha potensi keuntungannya besar karena masih berada dalam tahap growth. Hal tersebut cukup wajar. Kondisi yang setara akan kita alami apabila apabila kita membeli saham yang baru saja IPO, terlebih jika perusahaan tersebut belum lama berdiri. Risiko kita akan semakin berkurang apabila kita membeli perusahaan yang telah berada dalam fase selanjutnya di mana growth masih cukup besar namun mulai memiliki brand equity dan laba mulai terlihat. Risiko akan semakin menurun lagi apabila kita membeli saham perusahaan yang telah sukses dan menjadi market leader.

Berbisnis di sektor riil ataupun berinvestasi saham memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pilihan ada di tangan Anda.

Baca selengkapnya ..

Perjalanan Panjang IHSG (1984 - 2011)


Semoga chart di bawah bisa menjadi bahan renungan. Layakkah kita berinvestasi di saham.


Sejak tahun 1984, IHSG telah naik sebesar lebih dari 40 kali lipat atau setara dengan 15,8% per tahun.

Terlihat kecil? Bisakah Anda secara konsisten memperoleh return sebesar itu dalam jangka panjang?

Terlihat kecil? Nilai tersebut tidak memasukkan faktor dividen. Karena keterbatasan data saya tidak bisa memasukkan dividen ke dalam perhitungan.

Siap untuk investasi jangka panjang?

Baca selengkapnya ..

Kinerja Reksa Dana Saham 2010

Setelah sekian lama, saya akhirnya kembali mencoba untuk membahas mengenai reksa dana, khususnya reksa dana saham. Harus diakui bahwa reksa dana saham mengalami perkembangan yang pesat. Apabila dahulu para investor cenderung untuk menghindari risiko sehingga jumlah reksa dana pendapatan tetap terlihat sangat dominan, maka saat ini sudah cukup banyak investor yang berani berinvestasi melalui reksa dana saham. Sebagai bahan pertimbangan, ada baiknya kita memperhatikan kinerja reksa dana yang akan kita pilih. Walaupun berulang kali dinyatakan bahwa kinerja masa lalu tidak menggambarkan kinerja masa depan, akan tetapi kinerja masa lalu yang cemerlang dan konsisten dari waktu ke waktu bisa menjadi tolak ukur kinerja fund manager. Data pengukuran saya ambil per bulan dengan data terakhir adalah bulan Juli 2010.

Kali ini saya mengukur kinerja reksa dana saham dari dua sisi. Yang pertama adalah total return dan yang kedua adalah risk-adjusted return. Risk-adjusted return merupakan nilai relatif return terhadap volatilitasnya. Untuk pengukuran kali ini saya menggunakan Sharpe Ratio dengan formula sbb:

S = (re – rf) / stdev

di mana:

S : Sharpe Ratio

re: average return

rf: risk-free return

stdev: standar deviasi (menyatakan tingkat volatilitas return)

Untuk memantau konsistensi suatu reksa dana dari waktu ke waktu, saya memperlihatkan bagaimana peringkat kinerja reksa dana saham untuk berbagai periode pengukuran, yaitu 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun. Dengan demikian kita akan mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif mengenai kinerjanya. Yang patut dicermati adalah adanya survival effect yang menyebabkan reksa dana yang usianya sudah panjang rata-rata kinerjanya terlihat bagus. Hal ini disebabkan karena reksa dana ‘sebayanya’ yang kinerjanya kurang bagus sudah banyak berguguran.

Kinerja Reksa Dana Saham 2010, Sumber: Bapepam, diolah

Saya tidak akan banyak mengomentari. Dengan melihat tabel kinerja tersebut, Anda bisa melakukan penilaian sendiri :)

Disclaimer is on.

Baca selengkapnya ..