Keinginan untuk mengurangi adanya faktor emosi inilah yang mendorong munculnya berbagai macam strategi investasi. Strategi yang paling terkenal mungkin adalah Dollar Cost Averaging (DCA), di mana kita secara berkala berinvestasi dalam jumlah nominal yang tetap bagaimanapun kondisi pasar. Selain DCA sebenarnya terdapat beberapa macam strategi lain yang dapat kita terapkan. Masing-masing strategi memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Beberapa strategi yang ada antara lain:
- Jika kita menginvestasikan seluruh dana kita di awal, strategi kita itu disebut dengan Lump-Sum.
- Jika kita menginvestasikan dana kita dalam jumlah yang tetap secara berkala, maka strategi itu disebut dengan Dollar Cost Averaging (DCA).
- Jika kita menginvestasikan dana kita untuk membeli reksa dana/saham dengan jumlah unit yang sama secara berkala, maka strategi kita itu disebut dengan Constant Share (CS).
- Jika kita menginvestasikan dana dalam jumlah tertentu secara berkala sehingga pertambahan nilai investasi kita selalu tetap, strategi kita itu disebut dengan Value Averaging (VA).
Mirip dengan strategi Dollar Cost Averaging, skema strategi di atas mempunyai satu kelemahan. Dalam beberapa tahun ke depan, seiring dengan inflasi mungkin pertumbuhan konstan sebesar Rp 500.000,- akan terasa kecil. Oleh karena itu kita perlu melakukan sedikit ”modifikasi” agar pertumbuhan investasi kita dapat mengatasi efek inflasi. Apa yang harus kita lakukan? Agar nilai pertumbuhan dapat mengatasi efek inflasi, maka target pertumbuhan kita nyatakan dalam persentase. Dasar dari konsep ini sama dengan skema sebelumnya. Hanya saja, jika dalam skema sebelumnya kita menargetkan pertumbuhan Rp 500.000,- setiap bulan, maka pada skema ini kita menargetkan pertumbuhan dalam persen katakanlah 3% setiap bulannya. Jadi pada akhir bulan kedua, kita harus membuat nilai investasi kita menjadi (1 + 3%) x Rp 500.000,- = Rp 515.000,-. Pertumbuhan sebesar itu dapat dicapai dengan meningkatnya nilai investasi maupun tambahan dana dari kita. Mungkin pertumbuhan sebesar 3% atau Rp 15.000,- pada akhir bulan kedua tersebut terasa kecil namun nilai 3% tersebut akan terasa besar pada tahun-tahun mendatang. Dengan mengubah bentuk pertumbuhan menjadi persentase, maka kita telah memecahkan permasalahan yang ditimbulkan oleh inflasi.
Satu hal yang perlu diingat jika nilai investasi kita melebihi target, kita akan menarik sejumlah dana kita agar nilainya sesuai dengan target yang telah ditetapkan semula.
Lalu apa kelebihan dari strategi Value Averaging ini?
Dengan menerapkan strategi ini, kita akan mengurangi harga pembelian unit reksa dana kita. Hal tersebut akan kita bahas lebih data pada contoh yang akan saya berikan. Selain itu, strategi ini memungkinkan kita untuk ”mencicil” investasi kita, sama dengan strategi Dollar Cost Averaging.
Contoh yang akan saya berikan ini berdasarkan data IHSG 6 bulanan sejak tahun 1989. Mengapa saya menggunakan data IHSG dan bukan NAV reksa dana saja?
Pertama, pergerakan NAV reksa dana pada umumnya hampir sama dengan pergerakan IHSG.
Kedua, saya ingin mengolah data dalam periode yang lebih panjang. Reksa dana paling ”tua” yang ada saat ini mulai diterbitkan pada tahun 1996, jauh lebih pendek dibandingkan dengan awal perhitungan IHSG yaitu tahun 1988.
Data yang digunakan adalah data 6 bulanan karena jika terlalu singkat, subscribe dan redeem fee kita akan membengkak.
Mari kita perhatikan simulasi berikut (klik pada gambar untuk memperbesar) :
Terlihat bahwa dengan menargetkan pertumbuhan dana sebesar 12% per 6 bulan, maka berdasarkan total dana yang telah kita investasikan, return kumulatif investasi kita adalah sebesar 16.258% (enam belas ribu persen) atau 14,77% per enam bulan. Is it amazing? Bagaimana mungkin dengan target pertumbuhan 12% per 6 bulan kita memperoleh return sebesar itu?
Kuncinya adalah pada proses pembatasan pertumbuhan. Jika pertumbuhan di bawah target, maka kita memasukkan dana tambahan. Jika pertumbuhan di atas target, maka kita kurangi investasi kita.
Yang mengejutkan, dengan menerapkan strategi VA ini, untuk mencapai nilai investasi sebesar Rp 33.115.921,- total dana yang kita keluarkan hanyalah Rp 202.000.
Nilai minus pada harga perolehan rata-rata menandakan bahwa kita tidak perlu mengeluarkan dana untuk investasi kita.
Memang Rp 33 juta terlihat kecil. Jika kita ingin memperoleh hasil yang lebih besar, kita bisa memperbesar nilai nominal awal. Misalnya kita tidak menaruh Rp 500 rb akan tetapi Rp 5 juta.
Satu hal yang sangat penting dan tidak boleh kita lewatkan adalah fluktuasi. Jumlah dana yang harus kita masukkan atau keluarkan setiap 6 bulannya berkisar antara Rp 30 ribu sampai dengan Rp 7,8 juta. Sebuah kisaran nilai yang cukup lebar.
Oleh karena besarnya fluktuasi keluar masuk dana, maka menurut saya strategi ini merupakan strategi yang cukup advanced karena membutuhkan disiplin dan mengandung risiko yang cukup tinggi. Tanpa perhitungan yang matang di awal, jangan menerapkan strategi ini untuk berinvestasi.
Terbukti memang semboyan ’high risk, high return’
Diclaimer is on
Baca selengkapnya ..