Book Review : Panduan Singkat dan Praktis Memulai Investasi di Reksadana

  • Judul Buku : Panduan Singkat dan Praktis Memulai Investasi di Reksadana

  • Pengarang : Nofie Iman

  • Kategori : Non-fiksi

  • Penerbit : PT. Elexmedia Komputindo

Buku ini merupakan karya awal Nofie Iman dalam dunia perbukuan. Tidak dapat disangkal, Nofie Iman adalah salah satu blogger yang telah memiliki penggemar tersendiri di jagad maya.

Saat pertama kali melihat buku ini, satu hal yang terbersit di benak saya. Apa yang membedakan buku ini dengan buku-buku sejenis mengenai reksadana? Ada satu hal yang menarik. Pengarang buku ini menyelipkan satu bab mengenai strategi investasi reksadana. Bab ini membahas mengenai diversifikasi dan lebih lanjut mengenai bagaimana membentuk diversifikasi yang optimal. Sayangnya pembahasan mengenai diversifikasi optimal terkesan hanya menyentuh "kulitnya" saja sehingga tidak dapat langsung diterapkan.

Secara keseluruhan, sesuai dengan judulnya, buku ini merupakan buku yang sangat baik bagi seorang pemula yang ingin berinvestasi di reksadana. Penjelasan yang diberikan cukup jelas dan tidak bertele-tele. Dengan membaca buku ini, Anda akan mengetahui seluk beluk reksadana. Mulai dari definisi hingga cara memilih reksadana yang baik. Selain itu, buku ini juga memberikan penjelasan mengenai ETF dan unit link yang masih relatif baru di dunia investasi di Indonesia.

Pada bagian akhir buku ini, pembaca dapat menemukan daftar istilah yang umum digunakan di dunia investasi reksadana sehingga pembaca yang awam dapat mengikuti paparan di dalam buku ini dengan lebih baik. Tak lupa, pengarang juga memberikan daftar agen penjual reksadana dan manajer investasi reksadana.

Pendek kata, buku ini dapat menemani akhir pekan Anda tanpa membuat kening Anda berkerut karena Nofie Iman mampu untuk memaparkan hal-hal yang cukup rumit dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.





Baca selengkapnya ..

Asal Mula Permasalahan Krisis KPR di US

Saya tergelitik ingin mengetahui mengapa subprime mortgage dapat memicu bola salju krisis finansial saat ini. Paling tidak saya ingin mengetahui bagaimana strukturnya dalam pasar KPR di U.S. Setelah mencari-cari akhirnya ketemu juga :)


Dari $6.3 T securitized mortgage debt, terlihat bahwa nilai subprime mortgage di US adalah 800 miliar USD. Yang dimaksud dengan securitized adalah konversi utang menjadi surat berharga yang bisa dijual ke market.

Sedikit cerita mengenai ini. Dari $23T nilai pasar perumahan di US, 47% nya atau $10.7 T dijaminkan. Dari nilai tersebut, $6.3 T dijadikan surat berharga(securitized). Aset-aset tersebut dibagi lagi berdasarkan pihak yang menjamin (underwriter) menjadi agency mortgage dan non-agency mortgage. Pihak yang disebut agency adalah dari pemerintah, baik government agency (Ginnie Mae) ataupun government-sponsored enterprises (Fannie Mae dan Freddie Mac).

Non-agency mortgage adalah mortgage yang dengan berbagai alasan tidak memenuhi kriteria untuk dijamin oleh agency, baik karena skalanya yang terlalu besar (Jumbo Prime) maupun tidak memenuhi syarat sebagai peminjam (Alt-A dan Subprime). Seperti yang kita ketahui bersama, subprime borrower inilah yang menjadi pemicu terjadinya krisis finansial saat ini.


Jumlah sebesar $800 miliar tersebut hanyalah mortgage dan belum termasuk produk derivatifnya seperti CDO yang menggabungkan securitized mortgage tersebut dengan obligasi yang ratingnya lebih tinggi sehingga menjadi lebih "layak" sebagai instrumen investasi. Yang gw belum dapat infonya berapakah nilai sesungguhnya aset yang exposed terhadap risiko krisis finansial ini.

Surat berharga turunan dari subprime mortgage inilah yang menyebabkan krisis menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Sebuah konsekuensi dari globalisasi di mana kita bisa membeli dan menjual barang apapun dari seluruh dunia. Yes, produk derivatif/turunan adalah salah satu senjata yang paling berbahaya yang pernah diciptakan oleh Wall Street.

Jika kita mau berintrospeksi, sebenarnya apakah fungsi dari derivatif itu? kenapa kita harus ngeluarin CDO, futures, options, dll? Apakah tujuan utamanya untuk mencari keuntungan?Nope. Produk derivatif diciptakan untuk melakukan fungsi hedging(lindung nilai) terhadap underlying assetnya. Agar tidak membutuhkan duit yang banyak, maka pada umumnya produk derivatif memberlakukan sistem margin. Pada sistem ini, kita dapat bertransaksi walaupun dana yang kita miliki tidak cukup.

Timbul pertanyaan. Lah kalo dananya tidak cukup, kekurangan dana untuk transaksi siapa yang menalangi? Dapat dikatakan kekurangan dana dalam transaksi margin, di-create out of thin air. Artinya, uang tersebut hanya secara virtual diciptakan. Hal inilah yang menyebabkan transaksi derivatif sangat berbahaya karena sangat sulit memperkirakan seberapa banyak uang "virtual" ini "diciptakan".

Permasalahan derivatif ini adalah permasalahan lama yang baru meledak sekarang. Permasalahan ini sudah mulai muncul dari zaman presiden Reagan yang berpendapat bahwa tidak diperlukan regulasi pada market derivatif. Akibatnya, semakin banyak produk derivatif yang membanjiri pasar dan belum dapat dikalkulasikan risikonya. Kalkulasi risiko dari derivatif menjadi semakin sulit manakala produk yang ditawarkan semakin kompleks.

Sekedar mengingatkan. Bahkan peraih Nobel Ekonomi yang menjadi fund manager Long Term Capital Management(LTCM) pun gagal dalam memprediksi risiko produk derivatif. Akibatnya, tidak hanya LTCM yang ambruk karena default namun juga perekonomian seluruh dunia ikut meriang pada tahun 1998.

Mengutip speech dari Gordon Gekko di film Wall Street:

The point is, ladies and gentlemen, greed is good. Greed works, greed is right. Greed clarifies, cuts through, and captures the essence of the evolutionary spirit. Greed in all its forms, greed for life, money, love, knowledge, has marked the upward surge of mankind -- and greed, mark my words -- will save not only Teldar Paper but that other malfunctioning corporation called the USA...Thank you

Saat ini, tampaknya greed yang akan memakan US.

Apakah program bail-out sebesar $700 miliar yang dipersiapakan oleh pemerintah US cukup untuk menuntaskan masalah ini?ataukah dana tersebut hanya akan menggarami lautan?

Kita lihat episode-episode mendatang
Baca selengkapnya ..

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H

Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan:

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1429 H. Mohon maaf lahir & Bathin

Semoga investasi yang kita lakukan dapat membawa kebahagian bagi kita di dunia dan akhirat :)
Baca selengkapnya ..

Optimalisasi Portfolio : Studi Kasus (Memanfaatkan PortalReksadana Matrix)

Setelah penjelasan singkat pada tulisan sebelumnya. Saya akan mencoba membuat contoh studi kasus bagaimana cara menentukan komposisi portfolio reksadana kita. Seperti pada tulisan sebelumnya, tools yang harus disiapkan adalah add-in Excel yaitu Solver.
Kali ini kita akan menggunakan bantuan list reksadana yang ada di www.portalreksadana.com (bagian PortalReksadana Matrix).

STEP 1 : Tentukan Reksadana yang akan disertakan dalam portfolio
Kita akan menggunakan data return bulanan selama 3 tahun. Artinya, kita harus memiliki reksadana yang sudah mulai ada pada akhir bulan Agustus 2005 dan masih ada pada bulan Agustus 2008.
Pada langkah ini bandingkan list reksadana pada akhir bulan Agustus 2008 di sini dengan list reksadana pada bulan Agustus 2005 di sini.

Kita hanya akan menggunakan reksadana saham, reksadana campuran, dan reksadana pendapatan tetap. Hilangkan data reksadana jenis lainnya.
Setelah melakukan langkah tersebut, ternyata banyak sekali reksadana yang kita dapatkan. Wah, susah juga untuk melakukan pemilihan. Jangan khawatir, mari kita teruskan ke langkah selanjutnya.

STEP 2 : Sortir Reksadana pilihan dengan PortalReksadana Matrix
Untuk mengurangi jumlah reksadana yang akan kita sertakan, kita filter dahulu dengan PortalReksadana Matrix. Kita ambil 5 reksadana dengan peringkat tertinggi untuk masing-masing jenis dengan syarat, reksadana yang kita pilih itu ada juga di list reksadana yang kita dapat dari STEP 1. Keterangan : Untuk RDC dan RDPT langsung ambil RD yang berada di kuadran diamond. Untuk RDS, berhubung tidak ada RD yang masuk kuadran diamond ,maka kita mengambil 5 reksadana tertinggi dari kuadran gold.List reksadana kita kira-kira akan seperti ini:
  • REKSA DANA SCHRODER DANA ISTIMEWA (RDS)
  • Fortis Ekuitas (RDS)

  • Schroder Dana Prestasi Plus (RDS)

  • Manulife Dana Saham (RDS)

  • Bahana Dana Prima (RDS)

  • SCHRODER DANA TERPADU (RDC)

  • Reksadana Jisawi Mix (RDC)

  • Mahanusa DanaKapital (RDC)

  • Batasa Syariah (RDC)

  • PG Synergy (RDPT)

  • Fortis Rupiah Plus (RDPT)

  • REKSADANA EKOFIX (RDPT)

  • Reksa Dana Berlian (RDPT)

  • Reksadana Optima Obligasi (RDPT)
  • Reksadana Premier Optima (RDPT)


STEP 3 : Mengambil data NAB
Setelah memiliki list reksadana yang akan kita susun, kita ambil dahulu data NAB. Data NAB yang kita butuhkan adalah data akhir bulan setiap reksadana dalam list kita selama 3 tahun (Agustus 2005 – Agustus 2008). Data NAB yang kita miliki total ada 37 buah untuk masing-masing reksadana. Setelah itu, kita buat return bulanan dengan formula sebagai berikut : r = (NABt / NABt-1) – 1.Kemudian susun seperti gambar di bawah ini: (untuk lebih jelasnya mengenai perhitungan return, stdev, R/V, serta parameter-parameter portfolio silakan lihat di file excel yang saya attach di sini.



STEP 4 : Menggunakan solver
Ini dia proses terpenting. Buka solver add-in dari menu di Excel : Tools --> solverSetelah window solver terbuka, isikan pastikan isian formnya seperti ini:



Perhatikan bahwa row untuk weight bernilai 2% untuk masing-masing RD (masih belum dioptimalisasi. Setelah itu kemudian klik tombol Solve. Setelah keluar hasilnya akan muncul window Solver Result. Klik tombol OK dengan pilihan ”Keep Solver Results” dipilih. Hasilnya kira-kira seperti gambar pada STEP 3.
Mungkin itu dulu. Kalau ada pertanyaan silakan dilempar di comment yah
Baca selengkapnya ..

Mengoptimalkan Alokasi Aset, Sebuah Cerita Mengenai Diversifikasi (Bag. 2)

Pada tulisan bagian pertama telah dijelaskan mengenai salah satu kegunaan dari diversifikasi, yaitu optimalisasi portfolio. Pada bagian kedua ini, saya akan mencoba menjelaskan mengenai prakteknya. Materi ini tergolong intermediate dan membutuhkan alat bantu, dalam hal ini adalah Solver Add-in dari Microsoft Excel.

Solver Add-in merupakan salah satu tool penunjang dari Excel yang berguna untuk menyelesaikan persamaan linier. Jika kita memiliki installer office, dengan mudah kita akan dapat menginstall add-in ini. Caranya : Buka program Microsoft Excel kemudian pilih menu Tools kemudian klik menu Add-Ins. Pada pilihan yang ada beri tanda cek pada Solver Add-In kemudian klik tombol OK. Sebelumnya jangan lupa masukkan CD installer Microsoft Office. Nanti secara otomatis Solver akan terinstall.

Setelah selesai dengan permasalahan teknis, mari kita kembali ke topik utama. Inti dari optimalisasi portfolio adalah meminimalkan risiko untuk tingkat return tertentu yang kita inginkan atau dapat juga memaksimalkan return untuk tingkat risiko tertentu yang mampu kita hadapi.


Jika kita menggabungkan beberapa reksadana ke dalam satu portfolio, maka return dari portfolio tersebut merupakan rata-rata tertimbang dari return reksadana penyusunnya. Yang dimaksud dengan tertimbang adalah pembobotan berdasarkan besarnya komposisi masing-masing reksadana yang ada di dalam portfolio kita tersebut, yang dapat dinyatakan dengan:


Di mana :
E(Rp) : return portfolio
Wi : proporsi RD i dalam portfolio
E(Ri) : return reksadana i

Sedangkan risiko total portfolio kita dapat dinyatakan sebagai berikut:


Di mana :
(Sigma p)2 : varians portfolio (varians merupakan kuadrat dari standar deviasi yang merupakan indikator risiko)
Rho ij : korelasi antara RD i dengan RD j

Memang sedikit rumit. Oleh karena itu lebih enak kalau kita langsung menggunakan Solver sebagai alat bantu. Dengan Solver, kita tidak perlu “terjebak” dalam perhitungan yang rumit tersebut. Dengan Solver kita bisa memaksimalkan sharpe ratio portfolio kita dengan cara mengubah-ubah komposisi reksadana penyusunnya.

Teknis pelaksanaan:
  1. Saat ini total reksadana yang terdaftar ada lebih dari 500 buah. Pada proyek ini saya hanya membatasi pada reksadana saham, reksadana campuran, dan reksadana pendapatan tetap. Ketiga jenis reksadana tersebut sudah cukup jika kita ingin melakukan diversifikasi.
  2. Saya menggunakan data return bulanan reksadana selama kurun waktu 2 tahun.
  3. Untuk memudahkan, pengerjaan saya pecah menjadi beberapa bagian. Pertama, saya mencari portfolio optimal untuk masing-masing jenis reksadana. Jadi, kita akan memiliki portfolio optimal RDS, RDC dan RDPT. Untuk masing-masing jenis reksadana saya hanya memilih 10 reksadana terbaik berdasarkan sharpe ratio. Data sharpe ratio ini bisa diolah sendiri atau didapatkan dari menu Sharpe Ratio di PortalReksadana.
  4. Portfolio optimal dari masing-masing jenis RD kemudian digabungkan dan dicari lagi portfolio optimal secara menyeluruh. Setelah langkah ini selesai, kita akan mengetahui berapa seharusnya proporsi reksadana yang optimum.
Hasil dari proses optimalisasi tersebut adalah portfolio optimal dengan sharpe ratio(reward to variability) yang sangat tinggi. Hasilnya akan terlihat seperti ini:



Terlihat bahwa setelah kita melakukan optimalisasi, volatilitas portfolio kita yang diwakili oleh standar deviasi menjadi sangat rendah (0.09%). Nilai ini bahkan jauh lebih rendah daripada volatilitas rata-rata RDPT yang terdapat pada grafik pertama dari bagian pertama tulisan ini.Coba cek di sini.

Keterangan:
Portfolio RDPT merupakan portfolio optimal RDPT yang tersusun atas beberapa buah RDPT. Demikian pula halnya dengan RDC dan RDS.

Mengenai apa saja RD penyusun portfolio optimal RDPT, RDC dan RDS serta berapa komposisi optimal RD-RD tersebut saya agak merasa kurang enak menyebutkannya :p

Yang penting kita telah mengetahui prinsip dari optimalisasi portfolio reksadana. Sebenarnya metode ini dapat lebih dimanfaatkan karena dengan metode ini kita bisa mengeset seberapa besar return dan risiko portfolio kita. Dengan kata lain, kita seakan-akan dapat membentuk "reksadana" kita sendiri di mana profil risk dan returnnya kita yang menentukan.
Baca selengkapnya ..

Mengoptimalkan Alokasi Aset, Sebuah Cerita Mengenai Diversifikasi (Bag 1)

Salah satu prinsip investasi yang sangat penting adalah diversifikasi. Kita bisa saja meletakkan investasi kita dalam satu instrumen yang kita anggap paling baik dan tepat untuk kita. Sayangnya, seluruh jenis instrumen investasi memiliki satu hal yang sama, yaitu risiko. Kita tidak pernah tahu apakah suatu saat nanti terjadi penurunan yang tajam pada investasi kita. Jika kita hanya memiliki satu instrumen investasi, tentu dampaknya akan sangat besar bagi kita. Oleh karena itu kita sebaiknya meletakkan investasi kita di kelas aset yang berbeda. Minimal kita menaruh di beberapa jenis instrumen yang berbeda profilnya. Untuk reksadana, mari kita lihat grafik berikut. Grafik di bawah ini menggambarkan profil return dan risiko masing-masing tipe reksadana. Data yang dipakai adalah data bulanan selama dua tahun dengan data terakhir adalah bulan Juli 2008. (klik pada gambar untuk memperbesar)




Terlihat bahwa masing-masing jenis reksadana memiliki profil yang berbeda-beda. Satu kesimpulan yang bisa kita dapatkan adalah semakin besar return, maka risikonya pun semakin besar. Reksadana pendapatan tetap memiliki risiko terendah, namun menawarkan ekspektasi return yang tidak terlalu besar pula. Reksadana saham menawarkan ekspektasi return yang besar namun diimbangi pula dengan tingginya risiko yang harus kita tanggung.

Kalau begitu apakah kita hanya bisa pasrah saja menerima profil seperti itu? Tentu tidak.
Kita bisa mengatur profil portfolio investasi kita sesuai dengan keinginan kita. Dengan menggabungkan beberapa macam reksadana dari berbagai jenis, kita bisa mix n’ match reksadana dalam portfolio kita agar sesuai dengan keinginan kita. Itulah salah satu manfaat dari diversifikasi.

Satu hal lagi, pernahkan terpikir oleh Anda untuk mengoptimalkan komposisi portfolio Anda?
Setiap instrumen investasi maupun portfolio memiliki profil risiko dan return. Semakin besar return semakin baik dan semakin kecil risiko semakin baik. Biasanya risiko dilambangkan dengan volatilitas/fluktuasinya. Yang saya maksud dengan mengoptimalkan adalah dengan return yang sama, kita berusaha untuk memperkecil risiko. Dapat juga diterjemahkan bahwa dengan risiko yang sama, kita berusaha memperbesar return. Sebagai contoh, jika kita memiliki reksadana saham, profil portfolio kita akan mirip dengan grafik di atas. Setelah proses optimalisasi, kira-kira profil portfolio kita akan tampak seperti plot berikut: (klik pada gambar untuk memperbesar)



Terlihat bahwa dengan return yang hampir sama dengan reksadana saham, risiko kita telah jauh berkurang. Bahkan bisa lebih rendah daripada return rata-rata reksadana campuran. Tentu saja tidak selalu bisa seideal itu. Namun paling tidak dengan optimalisasi, kita bisa mendapatkan sesuatu yang ”lebih” dibandingkan dengan jika kita hanya memegang salah satu jenis reksadana saja, atau hanya mengira-ngira komposisi yang tepat.

Nah sekarang pertanyaannya : BAGAIMANA CARANYA?

Berhubung waktu saya yang sangat terbatas, caranya akan saya bahas di artikel selanjutnya. Semoga tidak terlalu lama menulisnya :)
Baca selengkapnya ..

Strategi Investasi : Value Averaging

Dalam berinvestasi reksa dana, terdapat beberapa strategi yang dapat kita terapkan untuk mengurangi risiko serta faktor emosi. Sebagai investor, emosi merupakan musuh utama kita karena emosi akan menyebabkan kita lebih mudah membuat keputusan yang salah. Sebagai contoh, saat market turun, jika kita panik kita secara spontan akan cenderung menarik dana investasi kita karena takut nilai investasi kita akan semakin menurun. Padahal setelah itu alih-alih semakin menurun, ternyata market kembali rebound dan setelah itu kita baru menyadari bahwa keputusan kita untuk menarik investasi kita adalah keputusan yang tidak tepat. Kepanikan kita tersebut merupakan salah satu bentuk emosi yang harus dihindari oleh investor.

Keinginan untuk mengurangi adanya faktor emosi inilah yang mendorong munculnya berbagai macam strategi investasi. Strategi yang paling terkenal mungkin adalah Dollar Cost Averaging (DCA), di mana kita secara berkala berinvestasi dalam jumlah nominal yang tetap bagaimanapun kondisi pasar. Selain DCA sebenarnya terdapat beberapa macam strategi lain yang dapat kita terapkan. Masing-masing strategi memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.

Beberapa strategi yang ada antara lain:
  • Jika kita menginvestasikan seluruh dana kita di awal, strategi kita itu disebut dengan Lump-Sum.

  • Jika kita menginvestasikan dana kita dalam jumlah yang tetap secara berkala, maka strategi itu disebut dengan Dollar Cost Averaging (DCA).

  • Jika kita menginvestasikan dana kita untuk membeli reksa dana/saham dengan jumlah unit yang sama secara berkala, maka strategi kita itu disebut dengan Constant Share (CS).

  • Jika kita menginvestasikan dana dalam jumlah tertentu secara berkala sehingga pertambahan nilai investasi kita selalu tetap, strategi kita itu disebut dengan Value Averaging (VA).
Pada tulisan kali ini saya akan membahas mengenai strategi investasi Value Averaging atau biasa disingkat VA. Konsep dari strategi ini adalah membuat pertambahan nilai investasi kita akan selalu tetap. Misalkan kita menginginkan nilai investasi kita bertambah sebesar Rp 500.000,- setiap bulannya. Jika kita menerapkan strategi value averaging, maka kita akan menambah atau mengurangi investasi kita sehingga pertambahan nilainya akan tetap (Rp 500.000,-) setiap bulannya. Pada akhir bulan pertama, kita menginvestasikan dana kita sebesar Rp 500.000,-. Dengan ketentuan seperti di atas, maka pada akhir bulan kedua nilai investasi kita harus menjadi Rp 1.000.000,-. Jika pada akhir bulan kedua ternyata nilai investasi kita meningkat menjadi Rp 550.000,-, maka kita hanya perlu menambahkan dana sebesar 1.000.000 – 550.000 = Rp 450.000,-. Dengan demikian, pada akhir bulan kedua, nilai investasi kita akan sesuai dengan target yaitu Rp 1.000.000. Proses ini dilanjutkan pada bulan-bulan berikutnya.

Mirip dengan strategi Dollar Cost Averaging, skema strategi di atas mempunyai satu kelemahan. Dalam beberapa tahun ke depan, seiring dengan inflasi mungkin pertumbuhan konstan sebesar Rp 500.000,- akan terasa kecil. Oleh karena itu kita perlu melakukan sedikit ”modifikasi” agar pertumbuhan investasi kita dapat mengatasi efek inflasi. Apa yang harus kita lakukan? Agar nilai pertumbuhan dapat mengatasi efek inflasi, maka target pertumbuhan kita nyatakan dalam persentase. Dasar dari konsep ini sama dengan skema sebelumnya. Hanya saja, jika dalam skema sebelumnya kita menargetkan pertumbuhan Rp 500.000,- setiap bulan, maka pada skema ini kita menargetkan pertumbuhan dalam persen katakanlah 3% setiap bulannya. Jadi pada akhir bulan kedua, kita harus membuat nilai investasi kita menjadi (1 + 3%) x Rp 500.000,- = Rp 515.000,-. Pertumbuhan sebesar itu dapat dicapai dengan meningkatnya nilai investasi maupun tambahan dana dari kita. Mungkin pertumbuhan sebesar 3% atau Rp 15.000,- pada akhir bulan kedua tersebut terasa kecil namun nilai 3% tersebut akan terasa besar pada tahun-tahun mendatang. Dengan mengubah bentuk pertumbuhan menjadi persentase, maka kita telah memecahkan permasalahan yang ditimbulkan oleh inflasi.

Satu hal yang perlu diingat jika nilai investasi kita melebihi target, kita akan menarik sejumlah dana kita agar nilainya sesuai dengan target yang telah ditetapkan semula.

Lalu apa kelebihan dari strategi Value Averaging ini?
Dengan menerapkan strategi ini, kita akan mengurangi harga pembelian unit reksa dana kita. Hal tersebut akan kita bahas lebih data pada contoh yang akan saya berikan. Selain itu, strategi ini memungkinkan kita untuk ”mencicil” investasi kita, sama dengan strategi Dollar Cost Averaging.

Contoh yang akan saya berikan ini berdasarkan data IHSG 6 bulanan sejak tahun 1989. Mengapa saya menggunakan data IHSG dan bukan NAV reksa dana saja?
Pertama, pergerakan NAV reksa dana pada umumnya hampir sama dengan pergerakan IHSG.
Kedua, saya ingin mengolah data dalam periode yang lebih panjang. Reksa dana paling ”tua” yang ada saat ini mulai diterbitkan pada tahun 1996, jauh lebih pendek dibandingkan dengan awal perhitungan IHSG yaitu tahun 1988.

Data yang digunakan adalah data 6 bulanan karena jika terlalu singkat, subscribe dan redeem fee kita akan membengkak.

Mari kita perhatikan simulasi berikut (klik pada gambar untuk memperbesar) :



Terlihat bahwa dengan menargetkan pertumbuhan dana sebesar 12% per 6 bulan, maka berdasarkan total dana yang telah kita investasikan, return kumulatif investasi kita adalah sebesar 16.258% (enam belas ribu persen) atau 14,77% per enam bulan. Is it amazing? Bagaimana mungkin dengan target pertumbuhan 12% per 6 bulan kita memperoleh return sebesar itu?

Kuncinya adalah pada proses pembatasan pertumbuhan. Jika pertumbuhan di bawah target, maka kita memasukkan dana tambahan. Jika pertumbuhan di atas target, maka kita kurangi investasi kita.

Yang mengejutkan, dengan menerapkan strategi VA ini, untuk mencapai nilai investasi sebesar Rp 33.115.921,- total dana yang kita keluarkan hanyalah Rp 202.000.

Nilai minus pada harga perolehan rata-rata menandakan bahwa kita tidak perlu mengeluarkan dana untuk investasi kita.

Memang Rp 33 juta terlihat kecil. Jika kita ingin memperoleh hasil yang lebih besar, kita bisa memperbesar nilai nominal awal. Misalnya kita tidak menaruh Rp 500 rb akan tetapi Rp 5 juta.

Satu hal yang sangat penting dan tidak boleh kita lewatkan adalah fluktuasi. Jumlah dana yang harus kita masukkan atau keluarkan setiap 6 bulannya berkisar antara Rp 30 ribu sampai dengan Rp 7,8 juta. Sebuah kisaran nilai yang cukup lebar.

Oleh karena besarnya fluktuasi keluar masuk dana, maka menurut saya strategi ini merupakan strategi yang cukup advanced karena membutuhkan disiplin dan mengandung risiko yang cukup tinggi. Tanpa perhitungan yang matang di awal, jangan menerapkan strategi ini untuk berinvestasi.

Terbukti memang semboyan ’high risk, high return’


Diclaimer is on

Baca selengkapnya ..