Antara Jakarta, New York, dan Shanghai

Tentu sebagian pembaca akan bertanya-tanya, apakah yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini? Ada beberapa kemungkinan mengenai topik yang akan saya sampaikan. Sebagian dari Anda mungkin berpikir mengenai liburan yang menyenangkan bersama keluarga di kota-kota tersebut (bagi yang bertempat tinggal di luar kota Jakarta). Warga Jakarta sendiri sepertinya tidak banyak yang menyadari bahwa kota mereka adalah tempat liburan karena sudah terlalu lelah bergulat dengan kemacetan, keruwetan, dan panasnya ibukota tercinta ini. Beberapa dari Anda mungkin berpikir bahwa tulisan ini bermuatan politis. Tidak, tidak. Saya tidak akan berbicara mengenai politik di sini. Lalu apa?

Sampai dengan awal tahun 90-an orang hanya berpikir bahwa pusat perekonomian dunia adalah Amerika Serikat. Jika saya menyebutkan kata "Dow Jones", kita akan membayangkan sebuah bursa saham yang dipenuhi oleh pialang yang sedang sibuk menelepon ke seluruh dunia. Kalau perlu bahkan menggunakan dua pesawat telepon di kedua telinganya. Gambaran tersebut diperkuat oleh promosi Hollywood yang luar biasa dan memang pada kenyataannya kurang lebih seperti itu.

Saya akan mencoba membawa Anda maju ke pertengahan 90-an. Pada saat itu pemerintah Cina mulai membuka keran selebar-lebarnya kepada investor di seluruh dunia untuk berinvestasi di negerinya (sebenarnya kebijakan tersebut telah dimulai dari 25 tahun yang lalu). Suatu hal yang bertolak belakang dengan bayangan kita mengenai Cina yang sangat tertutup terhadap dunia luar. Pembangunan yang sedang berjalan di sana bisa dikatakan sebagai suatu keajaiban karena belum pernah terjadi sebelumnya di negara manapun. Para politikus di Amerika Serikat sebelumnya akan merasa bahwa kebijakan ekonominya berhasil apabila perekonomiannya tumbuh di atas 4% per tahun. Pertumbuhan ekonomi di antara 2% sampai dengan 4% merupakan suatu kenyamanan. Pertumbuhan ekonomi di bawah 2% merupakan malapetaka politik.

Namun apa yang terjadi di Cina? Pemerintahnya sendiri telah mengatakan bahwa perekonomian negaranya harus tumbuh di atas 7% per tahun agar tenaga kerja yang sangat banyak dapat terserap. Saat ini kita akan dengan mudah menemukan barang dengan label “Made in China” jika dibandingkan dengan barang “Made in USA”. Sangat berbeda dengan kondisi beberapa puluh tahun yang lalu. Cina telah menjadi mimpi buruk bagi Paman Sam. Apakah Anda menyadari bahwa sebagian besar pakaian yang dijual di pusat-pusat perbelanjaan di Jakarta adalah buatan Cina? Para penjual menyukai pakaian buatan Cina karena modelnya yang bagus dengan harga yang terjangkau. Demikian pula dengan konsumen. Saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai keterpurukan produsen pakaian dalam negeri yang tertatih-tatih didera oleh mahalnya bahan baku.

Hal-hal di atas telah memenuhi isi berita sebuah surat kabar ataupun portal berita dari waktu ke waktu dan dari berbagai macam perspektif. Apakah pernah terbayang dua puluh tahun yang lalu kita dapat mengikuti perkembangan perubahan kekuatan ekonomi tersebut dengan begitu cepatnya sehingga kita bisa merasakan perubahan tersebut seakan-akan kita berada di dalamnya?

Baiklah, saya akan menuju ke topik yang ingin saya bicarakan. Topik yang akan saya angkat adalah “informasi”. Saya mengasumsikan bahwa Anda telah menikmati hasil dari kemajuan teknologi informasi. Dahulu saat saya masih tinggal di Surabaya, saya menerima koran terbitan Jakarta baru pada pukul 9 pagi karena harus dikirimkan dari Jakarta ke Surabaya terlebih dahulu. Sekarang, soft copy surat kabar yang telah siap naik cetak pada tengah malam dapat langsung dikirimkan ke kota tujuan untuk kemudian dicetak di sana. Hasilnya, para pelanggan surat kabar di seluruh Indonesia dapat menikmati surat kabar dalam waktu yang bersamaan dengan pelanggan di Jakarta yang menerima surat kabarnya dari loper koran. Lebih ekstrim lagi adalah portal berita di Internet yang saat ini telah menjadi sumber berita kita dan bahkan mulai menggantikan posisi surat kabar. Kita dapat mengetahui berita yang berasal dari belahan dunia lain hanya dalam hitungan detik. Tentu saja apabila koneksi kita bukan dial-up yang lambat.

Hal yang sama berlaku di dunia pasar modal. Informasi real time dari seluruh penjuru dunia akan muncul dalam bentuk ticker di layar televisi. Dua dasawarsa yang lalu para pialang dan pelaku pasar modal lainnya bertukar informasi melalui telepon atau facsimile. Akan tetapi, seberapa banyak dan seberapa cepat informasi yang dapat disampaikan oleh kedua media tersebut? Efek yang paling kentara adalah sensitivitas pergerakan harga saham di BEJ terhadap sesuatu yang terjadi di New York, Shanghai ataupun kota-kota lainnya di dunia. Seringkali tanpa kita sadari harga suatu saham telah jauh meninggalkan kita yang baru mendapatkan beritanya beberapa saat sesudahnya.

Dosen saya pernah mengatakan bahwa orang-orang di bursa itu pintar-pintar. Pendapat tersebut ada benarnya. Kita harus berpikir ulang apakah benar jika kita handal dalam menaksir nilai suatu saham maka kita akan mendapatkan keuntungan jika membeli saham tersebut. Saya percaya bahwa para analis pasar modal akan mampu melakukan apa yang telah kita lakukan dalam menilai suatu saham, bahkan dengan tingkat akurasi yang lebih tinggi. Sampai pada pernyataan tersebut saya teringat kembali pada Teori Pasar Efisien. Seseorang tidak akan bisa memperoleh imbal hasil abnormal secara terus menerus berdasarkan informasi mengenai suatu sekuritas yang telah dipublikasikan. Teori tersebut seakan-akan mendapatkan angin segar di era informasi ini.

Kata kuncinya di sini adalah “kecepatan”. Seberapa cepatkah kita mendapatkan suatu informasi penting yang akan mempengaruhi harga suatu saham? Informasi mengenai kebakaran suatu pabrik milik sebuah perusahaan multinasional di Shanghai akan tersebar dalam waktu singkat melalui backbone fiber optik dan tersebar ke seluruh dunia. Dalam waktu yang nyaris bersamaan harga saham di bursa-bursa termpat perusahaan tersebut terdaftar akan menukik tajam. Tentu saja cerita saya tersebut hanyalah sebuah rekaan. Akan tetapi apa yang terjadi kira-kira akan seperti itu di era informasi ini. Jaringan Internet saat ini telah mampu menyediakan data up to date dalam waktu yang sangat singkat. Sebuah kemewahan yang dahulu hanya didapatkan oleh para manajer investasi besar. Sekarang ini mereka harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan hasil investasi yang melebihi investor kecil.

Hal penting lainnya adalah kemampuan kita untuk memilah-milah informasi yang telah kita dapatkan. Jika Anda pernah mempelajari teknologi informasi tentu mengetahui bahwa dalam arsitektur jaringan, Internet digambarkan sebagai awan. Dalam konteks tulisan ini mungkin lebih tepat jika saya mengatakan bahwa jaringan Internet adalah hutan rimba. Banyaknya informasi yang terdapat di sana akan dengan mudah menyesatkan apabila kita tidak mengetahui apa yang kita cari. Banjir informasi yang kita dapatkan setiap waktu akan memperbesar kemungkinan kita melewatkan satu atau dua informasi yang sangat penting. Tentu saja hal tersebut tidak kalah buruknya dengan informasi yang terlambat kita terima.

Saya hendak mengatakan bahwa teknologi informasi telah membawa kita kepada pemahaman baru mengenai dunia investasi. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu yang telah kita pelajari selama ini tidak berguna. Fundamental dari ilmu mengenai investasi tetaplah sama, hanya saja kita harus merubah cara pandang kita dalam berinvestasi terutama yang berkaitan dengan pergerakan informasi yang menyebabkan interaksi antar elemen di dalamnya semakin dinamis.

Kita harus bergerak lebih cepat menangkap suatu informasi. Kita tidak harus benar-benar melintas antar benua menuju New York atau Shanghai untuk mendapatkan sebuah informasi. Kita hanya perlu duduk di depan komputer kita dan menyaksikan keajaiban teknologi informasi bekerja sambil meminum secangkir kopi hangat di pagi hari yang cerah. Nyaman sekali bukan hidup ini?