Reksadana Today: Maju Kena, Mundur Kena

Kondisi keuangan Amerika Serikat yang memburuk mau tidak mau telah berimbas ke negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia mulai melambat karena krisis. Seperti yang telah diketahui, indikator pasar modal biasanya leading terhadap kondisi ekonomi riil. Dampak ekonomi baru mulai terasa akhir-akhir ini. Amerika Serikat sebagai negara dengan perekonomian terkuat yang goncang mengakibatkan negara-negara yang porsi ekspornya ke Amerika Serikat besar mengalami tekanan. Walaupun memang tidak dapat dikesampingkan adanya faktor psikologis yaitu ketakutan para investor.

Di dalam negeri sendiri, imbas dari krisis keuangan di Amerika Serikat mulai terasa. Harus diakui telah terjadi capital flight yang mengakibatkan turunnya harga sejumlah efek sekuritas. Institusi-institusi keuangan di U.S berusaha untuk melikuidasi aset-asetnya di negara lain, termasuk di Indonesia.



Kondisi keuangan Amerika Serikat yang memburuk mau tidak mau telah berimbas ke negara-negara lain. Pertumbuhan ekonomi beberapa negara di dunia mulai melambat karena krisis. Seperti yang telah diketahui, indikator pasar modal biasanya leading terhadap kondisi ekonomi riil. Dampak ekonomi baru mulai terasa akhir-akhir ini. Amerika Serikat sebagai negara dengan perekonomian terkuat yang goncang mengakibatkan negara-negara yang porsi ekspornya ke Amerika Serikat besar mengalami tekanan. Walaupun memang tidak dapat dikesampingkan adanya faktor psikologis yaitu ketakutan para investor.

Di dalam negeri sendiri, imbas dari krisis keuangan di Amerika Serikat mulai terasa. Harus diakui telah terjadi capital flight yang mengakibatkan turunnya harga sejumlah efek sekuritas. Institusi-institusi keuangan di U.S berusaha untuk melikuidasi aset-asetnya di negara lain, termasuk di Indonesia.

Industri reksadana Indonesia yang baru saja bangkit dari goncangan pada tahun 2005 kembali harus menghadapi ujian. Penurunan harga-harga saham di BEI berdampak langsung terhadap nilai portfolio reksadana saham dan campuran. Belum selesai mengambil napas, pasar obligasi juga mulai goyang. Harga efek obligasi mulai terkoreksi. Saat ini, sudah mulai banyak harga obligasi yang dijual di bawah harga par nya. Sebagai info, harga par obligasi adalah harga yang dipergunakan sebagai patokan pembayaran pokok obligasi saat jatuh tempo. Hal tersebut antara lain diakibatkan oleh kenaikan suku bunga BI. Selain itu, pada kondisi seperti ini, para investor cenderung menahan diri dalam membeli obligasi. Suatu hal yang wajar karena memang sumber masalah dari krisis saat ini adalah pasar kredit.

Reksadana terakhir yang terkena dampak krisis ini adalah reksadana pasar uang. Seperti yang telah ramai diberitakan beberapa minggu yang lalu. Beberapa reksadana pasar uang melakukan kebijakan untuk membekukan aktivitas subscription dan redemption. Kepanikan investor yang mendorong mereka untuk menarik dananya dari reksadana pasar uang telah memaksa para MI untuk menjual aset-aset dalam portfolio pada harga yang tidak bagus. Kebijakan metode valuasi portfolio pada reksadana pasar uang memang berbeda dengan reksadana jenis lain yang menerapkan metode marked to market. Reksadana pasar uang menerapkan metode amortisasi di mana harga suatu efek akan disusutkan mulai dari harga perolehan sampai dengan harga par pada saat jatuh tempo. Reksadana lain yang biasanya menerapkan metode ini adalah reksadana terproteksi. Secara logis, sebenarnya jika para investor tenang dan tidak panik, mereka tidak akan rugi. Efek yang dimiliki oleh suatu reksadana akan dibayar pokoknya oleh penerbit surat hutang pada saat jatuh tempo pada harga par dan para investor tidak akan mengalami kerugian. Aktivitas redemption yang berlebihan memaksa MI untuk menjual efek pada reksadana yang dimilikinya dengan harga yang murah padahal jika dipegang sampai jatuh tempo, dana investasi dapat dikembalikan secara utuh.

Menghadapi hal ini, Bapepam sebagai pemegang otoritas pasar modal menghadapi sebuah dilema. Jika metode valuasi marked to market terhadap aset reksadana dipertahankan, maka berpotensi membuat para investor panik. Jika metode valuasi diubah menjadi amortisasi, seakan-akan permasalahan yang sebenarnya ditutup-tutupi dengan menampilkan NAB yang terlihat ‘normal’. Tentu saja terdapat trade-off antara kestabilan psikologis para investor dengan keterbukaan terhadap kondisi riil. Saya sendiri saat ini sedang menunggu-nunggu metode valuasi apa yang akan diterapkan oleh Bapepam ke depannya.

Saat ini, ketangguhan kita sebagai investor sedang diuji. Apa langkah-langkah yang kita lakukan dalam menghadapi kondisi yang tidak menentu seperti ini? Sudahkan Anda mempersiapkan backup plan untuk menghadapi kondisi ini? Sebagai investor, apakah dari awal mula berinvestasi di reksadana, kita telah dengan jujur menjawab pertanyaan-pertanyaan pada form kuisioner? Apakah karena tergiur mengharapkan return yang tinggi kita membohongi diri sendiri dengan menjawab mampu untuk menghadapi risiko yang besar? Tentu saja hanya Anda yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.